Sekujur badanku terasa berat dan ... sakit. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan kelopak mataku untuk memastikan aku masih hidup. Tapi sepertinya aku belum mati. Dari sepi bisu, perlahan-lahan gendang telingaku mulai menangkap getaran-getaran suara. Awalnya hanya suara kecil, tidak lebih dari dengungan tanpa makna lalu semakin lama gendang telingaku semakin berfungsi.
Dengungan tanpa makna berubah menjadi suara-suara yang lebih jelas. Sepertinya banyak orang di sekitarku. Aku menangkap kepanikan dan kesedihan. Aku seperti mengenal beberapa suara mereka.
Bukan hanya telinga, kelopak mataku juga mulai berdenyut. Aku pun berusaha sekuat tenaga membuatnya terbuka. Ah berat sekali.
Aku pun bisa merasakan tangan kananku digenggam dengan erat. Permukaan kulitku yang lain juga mulai bisa mengindra suhu dingin dari air conditioner. Hidungku juga mulai ... ah, ini seperti aroma ruangan rumah sakit.
Setelah berusaha sekuat tenaga, kelopak mataku bisa digerakkan. Samar-samar aku mulai melihat wajah-wajah. Aku bisa menangkap kecemasan dari pandangan mereka.
"Dia sudah sadar..."
Aku menoleh ke asal suara itu. Seorang lelaki berwajah tampan yang bersuara. Dia-lah rupanya yang sejak tadi menggenggam tanganku.
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya lagi.
 Aku merasa seperti sangat mengenalnya. Dia itu ... arh! Kepalaku berdenyut keras dan sakit tiba-tiba.
"Sudah, sudah! Kamu jangan banyak gerak dulu, kata dokter."
"Aku panggil suster dulu, ya," suara lainnya terdengar. Wanita pemilik suara memandangku sesaat dengan tatapan aneh, lalu pergi meninggalkan kami setelah lelaki itu mengangguk.
Wanita itu ... aku juga seperti mengenalnya. Tapi kenapa tiba-tiba sebagian hatiku mengatakan wanita itu tidak benar ya?
"Kalian tadi kecelakaan. Ron... meninggal di tempat," ucap lelaki itu. Genggamannya semakin erat. "Syukur kamu masih selamat, Sayang. Warga di sekitar tempat kecelakaan menelepon Nikita dari handphone Ron. Tapi tempat kecelakaannya jauh sekali. Kalian hendak kemana sebenarnya?"
"Kamu," ah ternyata bibir dan suaraku masih berfungsi. "Kamu siapa? Ron siapa?"
Lelaki itu terkejut.
"Kamu tidak ingat?"
Aku menggeleng lemah. "Aku sedang berusaha mengingat."
"Aku Reno, tunangan kamu," bibir lelaki itu bergetar.
Gantian aku yang terkejut.
"Tunanganku?"
Sial! Aku sadar, aku bahkan tidak ingat namaku sendiri.
Lelaki itu, Reno, mengangguk mantap. Tapi dadaku terasa memanas begitu pula dengan sel-sel otakku. Sepertinya jantungku bekerja memompa darah lebih keras dari biasanya. Tanpa sekehendakku tanganku mulai bergerak-gerak sendiri. "Siapa aku?" gumamku.
Bukannya menjawab, Reno malah terlihat mulai panik. Gerakan tanganku semakin lama semakin keras.
"Siapa aku? Siapaaa!" aku mulai berteriak.
Reno berteriak-teriak memanggil suster.
"Siapa akuuu!"
Dua orang suster datang tergopoh-gopoh. Salah satu berusaha membekapku, yang lainnya menyuntikkan sesuatu. Sesaat kemudian, wanita yang tadi bersama Reno muncul di sisi tempat tidur. Wanita itu berusaha berempati, tapi aku justru melihat senyuman licik dari bibirnya sebelum semuanya menjadi ... gelap dan sepi.
Ah, aku ingat nama wanita itu sekarang. Namanya ... Demit!
---(tamat)---
Cerita sebelumnya baca:Â [Demit] Cinta Berselimut Kabut
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI