"Oke, Rano," dia bermaksud melewati Rano tapi Rano bergeming.
"Ada apa, Rano?"
"Kamu tidak tertarik mendengar pendapatku tentang coklat terakhir itu?"
Delia terkejut lagi. Tapi dia penasaran juga, "Memangnya apa pendapat kamu?"
"Kalau coklat di tangan kamu itu coklat terakhir, saya akan ..." Rano terdiam beberapa saat. "...makan coklatnya sampai habis!"
"Haah! Kenapa?"
"Kalau coklat itu masih ada, artinya valentine akan terus dirayakan. Kalau coklatnya tidak ada lagi, maka ... good bye, valentine. Kamu tahu, setiap kali valentine datang, saya akan terus menjadi bahan ejekan mereka karena sepertinya saya satu-satunya cowok di sekolah ini yang tidak punya pacar," suara Rano semakin lirih. Dia tertunduk putus asa. "... saya tidak ingin valentine datang lagi."
Delia tercekat.
Dia lalu memperhatikan Rano lekat-lekat. Cowok ini memang tidak setampan Gilang atau Dodi, tapi wajahnya bersih dan hidungnya cukup mancung. Delia kemudian menyadari selama ini, betapa Rano adalah sahabat yang baik. Saat Delia kehabisan tinta pulpen, Rano meminjamkannya. Saat Delia kehilangan ayah tahun lalu, Rano-lah teman yang pertama mengungkapkan belasungkawa, saat Delia ikut ekskul sampai malam, Rano yang sering mengantarnya pulang. Masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang tidak disadari Delia selama ini. Hatinya pun tergerak.
"Del, kok diem?" tanya Rano.
Mata Delia berkaca-kaca lalu menatap Rano dalam-dalam. Tanpa sadar, coklat terakhir jatuh dari genggamanya.