Ilalang-ilalang yang masih berembun dan tiba-tiba disapa matahari pagi selalu menguarkan aroma khas. Aku sangat menikmatinya. Ingin rasanya menghirupnya dalam-dalam agar aroma dan kesegarannya memenuhi seluruh sel tubuhku. Penasaran, aku membuka mata dan memandang ke sekeliling.
Aku berada di tengah lautan ilalang yang masih basah. Dingin dari tanah berumput menjalar dari kaki telanjangku, tapi hangat matahari pagi menjalar dari atas kepalaku.
Di mana aku ini?
"Aluna!"
Aku menoleh ke asal suara itu. Seorang pria berlari mendekat. Mana bisa aku melupakan wajah itu? Wajah dari masa lalu yang tiba-tiba hadir mengoyak sepi dalam jiwa.
Ah, sudah berapa lama aku menjadi kupu-kupu yang mencari cinta di antara sampah metropolitan dan hanya menemukan fatamorgana? Padahal sejatinya cinta itu ada di sini, di tempat di mana aku seharusnya berada.
Tiba-tiba butiran bening merayap dari kelopak mata dan mengalir lepas.
"Mas Bayu?"
"Kamu masih mengingatku rupanya, Aluna," sahut lelaki itu lalu memeluk tubuhku erat, seolah kami akan berpisah lama. Dan mungkin saja itu benar adanya. Air mataku menderas. Aroma tubuhnya yang seperti hutan pinus, sensasi otot-otot yang mendekap hangat, ingatan yang terpendam bertahun-tahun itu dalam sekejab muncul seperti kapal karam yang tiba-tiba berlayar kembali di permukaan lautan.
"Bagaimana aku bisa melupakanmu, Mas?"
"Lalu kenapa pergi begitu lama?" wajahnya kini hanya berjarak sejengkal saja dari wajahku. Mata beningnya menatap lebih tajam. "Aku hanya memintamu meninggalkan rumah Ibu, bukan? Mengapa pergi jauh sekali ..."