Pagi yang nyaris beku memanggil kabut turun ke lereng-lereng bukit, menyelimuti jalanan, rumah penduduk dan setiap sudut desa. Sejauh mata memandang hanya nuansa putih dengan latar samar-samar, seperti lautan kapas yang bersenyawa dengan udara.
Aku duduk di teras rumah pak desa sambil menyesap kopi hitam yang dalam waktu semenit dua menit telah kehilangan hampir seluruh kehangatannya. Sarung pinjaman yang sejak tadi menyelimuti tubuhku dari leher sampai telapak kaki berjuang mengusir hawa dingin pergi jauh-jauh.
Pak desa beberapa menit lalu pamit karena ada undangan menghadiri musrembang di desa sebelah. Â Setelah itu Mita, anak bungsu pak desa beberapa menit lalu baru saja tuntas menyapu teras rumah. Sebelumnya istri pak desa membawa dua kopi hitam ke teras rumah, untukku dan untuk Boris, teman sekantor. Hanya saja Boris masih memilih meneruskan mimpi dibanding merayakan pagi.
Perusahaan kami bergerak dalam bidang pengembangan SDM dan saat ini sedang menggarap salah satu proyek kemitraan dengan pemerintah. Aku dan Boris ditugaskan untuk membuat assessment di desa sasaran selama lima hari.
Pagi ini adalah pagi keempat kami di desa ini. Aku sangat menikmati menit demi menit pagi, saat kabut mulai merajai desa. Lalu seiring matahari yang mulai naik ke singgasananya untuk mengedarkan cahaya dan panas, kabut pun perlahan-lahan menipis dan menguap lenyap. Bukan itu saja, setelah menipis, kabut pun menyingkap pemandangan lain tepat di seberang jalan di depan rumah pak desa. Dari dalam rumah mungil itu muncul sosok berparas ayu, berambut panjang dalam balutan seragam guru. Gadis manis itu bernama Nurlela.
Seperti kebanyakan gadis desa lainnya, Nurlela tidak mau berlama-lama beramah tamah pada orang baru. Tapi dari pertemuan pertama dua hari lalu, aku langsung tahu, dia wanita yang supel, hangat, baik hati dan juga smart. Rasanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pertemuan kedua terjadi kemarin. Kemarin sore, sepulang dari kantor desa aku melihat Nurlela sedang berdiri di depan pagar rumah sambil menenteng keranjang belanja kosong. Aku pun menyapa dan menanyakan tujuannya,
"Mau ke pasar di desa sebelah, Mas. Ini lagi nunggu ojek," sahutnya.
Wah, kebetulan. Aku juga mau ke arah luar desa di jalan poros untuk membeli beberapa keperluan, sekaligus mencari sinyal internet untuk mengirim laporan. Di dalam desa, jangankan sinyal internet, sinyal telepon biasa pun naik turun tidak keruan. Arah ke jalan poros kebetualan searah dengan desa tetangga tempat pasar yang dimaksud Nurlela. Di sana memang pasarnya buka sampai sore.
"Eh, kebetulan aku mau ke jalan poros. Aku antar, yuk. Nanti pulangnya aku singgahi lagi."
Nurlela berpikir sejenak. "Ah, gak usah, Mas. Ngerepotin. Gak enak juga dilihat warga," jawabnya.