Semenjak tinggal di rumah baru, sudah belasan kali Ervina memimpikan sosok itu, hantu bermata satu. Tingginya serupa dengan Ervina, sepertinya dia juga seorang gadis karena rambutnya panjang terurai. Hanya saja salah satu rongga matanya kosong melompong, sedangkan rongga mata yang lain diisi oleh bola mata yang menatap sendu dan dingin.
Tak bisa dibilang mimpi buruk juga karena dalam mimpi hantu itu hanya menampakkan diri begitu saja, tanpa ada tendensi apapun. Dia tiba-tiba muncul di atas lemari, keluar dari dinding selasar, menuruni tangga jati, pergi dan menghilang seperti potongan-potongan mimpi biasanya.
Pada suatu hari sepulang dari kampus, Ervina menceritakan hal itu kepada ibunya, satu-satunya orang dewasa yang dipercayai setelah ayahnya meninggal dunia 13 tahun lalu karena kecelakaan.
"...sepertinya dia ingin berteman denganku, Bu."
"Huss...," sergah ibu sambil menyusun rantang catering yang baru saja dilap oleh Pak Prapto, salah satu karyawan catering mereka. "...jangan ngomong begitu kamu, Nak. Nanti hantunya datang beneranloh."
"Memang sering datang, Bu, dalam mimpi," sahut Ervina lagi.
"Iya, lama-lama muncul beneran. Apa nggak takut kamu?"
Ervina hanya menggeleng tidak antusias lalu beranjak dari dapur ke kamarnya.
"Makanya sebelum tidur sembahyang dulu..." seru Ibu.
"Sudah, kok!" sahut Ervina dari balik pintu ruang tengah.
***