Beberapa waktu yang lalu tagar #LawanPlagiat menjadi trending topic di jagat twitter. Saya tidak menelisik lebih jauh pemicu tagar itu menjadi viral, tapi cukup senang karena rupanya masih banyak netizen yang peduli dan mau bersama-sama melawan plagiarisme.
Pada era internet ini, semua orang dengan segala sumber dayanya menjadi semakin terhubung. Jika dulu tulisan atau artikel bermutu hanya ngendon di perpustakaan yang sulit dijangkau atau ditemukan pada jurnal-jurnal eksklusif, kini semuanya menjadi begitu mudah diakses. Plagiarisme pun menjadi semakin marak dan lama kelamaan kita menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa.
Padahal plagiat sangat menyakiti hati penulis atau penghasil karya, sehingga dikategorikan sebagai salah satu tindak pidana.
Mengapa saya merasa lama kelamaan kita menganggap plagiarisme menjadi hal yang lumrah? Saya berkaca dari apa yang saya alami sendiri. Saya bukan blogger kawakan, terkenal, apalagi punya banyak follower, tetapi masih jadi sasaran plagiat. Contohnya cerpen dan puisi yang saya posting di blog pribadi planet-fiksi.blogspot.co.id. Kadang saya iseng googling, untuk mencari apakah tulisan saya bertebaran di tempat lain secara "ilegal" atau tidak, rupanya memang terjadi.Â
Beberapa tulisan ada yang nyasar di blog atau di note media sosial orang lain tanpa sepengetahuan saya. Ada yang masih mencantumkan nama dan sumber blog, tetapi sayangnya lebih banyak yang menghilangkan sumber malah ada yang mengganti nama penulisnya. Sedih bukan?
Tapi saya tidak memperpanjang masalah. Saya sadar, dengan mengunggah tulisan di jagat maya, harus memiliki mental beramal. Benteng terakhir untuk membuat plagiator merasa terganggu, paling tulisan pengingat seperti fight against plagiarism atau mohon cantumkan sumber saat copas, seperti itu saja agar jangan terlalu terkesan tulisan di blog seperti "anak ayam kehilangan induk" dan boleh dicaplok sesukanya.
Para plagiator mungkin akan berkata, "Halah! Tulisan remeh-temeh seperti ini saja mau sok!" atau "Tulisan di blog gratisan saja sombong. Seperti tulisan paling mahal sedunia saja!"
Dari sudut pandang itu mungkin saja benar. Tapi apakah para plagiator pernah berpikir bahwa sejelek apapun tulisan yang dihasilkan sendiri, tulisan itu tetap punya nilai karena merupakan pengendapan dari pengalaman, pemikiran dan isi hati penulisnya. Tulisan tersebut tidak muncul seperti sulap begitu saja. Dan jangan salah, sekalipun blognya gratisan, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat satu artikel pendek sekalipun tayang di jagat maya.
Paling tidak biaya kuota, mau kuota sendiri, atau hasil sharing hotspot ya namanya tetap biaya. Jika tulisannya dibuat sambil ngopi atau merokok ada biaya beli kopi dan rokok. Jika tulisan itu membutuhkan buku referensi atau informasi dari orang lain, ada biaya beli buku dan biaya pulsa atau biaya mentraktir narasumber kita. Yang paling besar sebenarnya malah biaya yang uncountable, yang tidak dianggap oleh para plagiator. Seperti pemikiran dan waktu yang dikorbankan. Jadi tulisan seremeh apapun selalu pasti punya nilai.
Teman-teman blogger dan penulis pasti paham benar maksud saya di atas. Jadi para pembaca yang suka mencopas tulisan orang lain, hargailah karya seorang penulis serendah apapun nilainya di mata anda.
Kalau anda merasa tulisan itu penting dan wajib berada di beranda sosial media atau di blog anda, paling tidak cantumkan sumber dan penulisnya. Itu saja sebenarnya sudah cukup.
Kembali ke topik #LawanPlagiat. Menempuh langkah represif seperti mengejar plagiator sampai ke ujung bumi dan menyelesaikannya secara hukum bisa jadi cara yang ampuh, karena masyarakat kita memang butuh semacam shock therapy. Lihat sendiri kan, sudah banyak edukasi yang berseliweran agar netizen mawas diri dan berhenti menyebar hoax, tapi tetap saja banyak pelakunya.
Tapi dari sisi lain, kita juga bisa menggunakan cara yang lebih preventif. Seperti misalnya mendorong para penulis khususnya penulis pemula untuk lebih percaya diri menghasilkan karya dari pemikiran sendiri.Â
Karya yang dihasilkan dari pemikiran sendiri sekalipun kurang berkualitas, masih jauh lebih bernilai dari pada karya jempolan tapi ternyata hasil plagiat karya orang lain. Seperti halnya jam terbang seorang pilot, dengan semakin sering belajar, berlatih dan menghasilkan tulisan sendiri, kepiawaian menulis pun akan meningkat. Dengan mulai menghargai karya sendiri, mereka juga akan semakin menyadari bahwa plagiarisme dalam dunia tulis menulis adalah perbuatan yang sangat tercela. Konsekuensinya lahir batin, pelakunya bisa diganjar secara sosial maupun secara hukum.
Dalam hal ini, penulis-penulis "senior" yang sudah lebih dulu malang melintang di dunia kepenulisan juga punya tanggung jawab moral untuk ikut membantu para penulis pemula mengembangkan diri.
Di Kompasiana ini, misalnya, terdapat banyak penulis-penulis handal dengan spesialisasinya masing-masing. Sesekali kita juga bisa berbagi tulisan dari sudut pandang kita masing-masing, bagaimana kiat-kiat menghasilkan tulisan yang menarik, aktual dan bergizi. Dengan semakin banyaknya artikel mengenai kepenulisan, penulis-penulis pemula pun semakin mudah menemukan referensi untuk mengembangkan diri.
Saya juga sudah mencoba berbagi artikel mengenai kepenulisan, walaupun saya sadari jumlahnya masih sedikit dan harus ditingkatkan pada waktu-waktu mendatang. Beberapa artikel yang bisa saya ingat kembali misalnya, Membuat Tulisan dengan Mind Map? Bisa!Belajar Critical Thinking dari Kompasiana, Tiga Jenis Blogger Menurut Teori McClelland, Tips Membangkitkan Mood Menulis untuk Kompasianer dan Cek Kesalahan Menulis pada Naskah Anda.
Dengan berbagi bukan berarti kita menganggap diri paling pintar. Dengan saling berbagi dan menanggapi kita bisa saling belajar, sesuai tagline rumah bersama kita, Beyond Blogging.
Salam #LawanPlagiat
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H