Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang-orangan Sawah

4 Juli 2017   18:38 Diperbarui: 5 Juli 2017   17:33 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengusir burung-burung usil yang suka mengincar bulir padi, bapak membuat orang-orangan sawah. Sederhana saja bentuknya. Dua bilah bambu diikat serupa logo palang merah, lalu dipancangkan di atas bambu lainnya. Kepala orang-orangan sawah itu menggunakan batok kelapa tua. Sentuhan terakhir, menambahkan caping, baju lusuh dan tali-temali yang diikat ke pondok di tengah areal sawah.

Tingginya serupa dengan bapak, dua kali lipat tinggiku.  Tapi aku senang melihatnya. Saban pulang sekolah aku bertugas mengusir burung-burung dengan cara menarik tali yang tersambung ke orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah itu menari seperti ondel-ondel dan burung-burung usil yang sempat singgah pun beterbangan ketakutan.

Pada suatu malam, aku sakit demam. Bapak membelikan obat di paman mantri, dan emak bertugas membolak-balik kain basah di atas keningku. Kata bapak sebelum tidur, demamku mulai turun.

Entah mengapa aku terbangun di tengah malam. Emak sudah terlelap di sampingku. Mungkin lelah karena seharian tadi membantu masak di hajatan kepala Dusun. Bapak juga. Aku merasa nyaris seluruh bajuku basah oleh keringat. Aku juga haus berat. Saat hendak mengambil air dari kendi di atas meja, aku terkejut setengah mati.

Orang-orangan sawah itu sedang duduk menatapku dari atas kursi yang biasa ditempati emak saat menambal seragam sekolahku.

"Kamu sudah baikan, Tole?" tanyanya ramah. Suaranya mirip suara bapak, hanya lebih berat dan serak.

Aku bertambah kaget, nyaris berteriak kencang sebelum dia bertutur lagi.

"Jangan takut," dia menurunkan volume suaranya. "Kita berteman, bukan? Setiap hari kita bersama-sama di sawah bapak kamu."

Aku terdiam membenarkan. "Mau apa kamu?" tanyaku dengan suara gemetar.

Sepertinya orang-orangan sawah itu tersenyum. Entahlah, wajahnya kurang jelas, tertutup ujung caping yang lebar.

"Justru saya yang mau bertanya begitu, Tole. Apa permintaanmu? Sebut apa saja, akan saya penuhi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun