Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan buat Bani Taplak dan Kaum Sumbu Pendek

2 Juli 2017   14:28 Diperbarui: 3 Juli 2017   07:32 3185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari: dreamstine.com

Saya baru beberapa bulan ini aktif di jagat twitter lagi. Berbeda dengan linimasa facebook yang cenderung adem, dinamika jagat twitter terasa lebih cadas. Mungkin karena sebagian besar akun yang saya ikuti, baik yang punya nama maupun yang anonim, suka berkicau tentang politik. Beda dengan kawan-kawan di facebook,yang statusnya lebih banyak tentang kejadian sehari-hari dan kehidupan mereka.

Setelah merasakan dinamika di jagat twitter selama ini, saya pun membagi akun-akun yang saya ikuti menjadi tiga golongan besar. Mungkin terminologi yang digunakan belum cukup pas, tapi baiklah saya sebut saja golongan Pro-Jokowi, Oposisi dan Netral. Kicauan berisi endorsement kinerja pemerintah cq Jokowi tentu lebih banyak bisa ditemukan pada golongan pertama. Golongan kedua sebaliknya, kicauannya selalu mengkritik kinerja pemerintah cq Jokowi. Kedua golongan ini dalam berbagai isu mulai dari kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah, pilkada DKI, terorisme, kasus habib Riziek, khatib Masjid sampai tas ibu Iriana selalu berdiri berseberangan.

Golongan ketiga adalah akun-akun yang tidak berpihak pada golongan pertama atau kedua. Sebagian besar adalah blogger yang kicauannya berkisar pada topik-topik tertentu saja. Karena golongan ketiga ini netral-netral saja, kita bahas lebih dalam dua golongan sebelumnya.  

Yang menarik, kedua golongan ini punya "panggilan kesayangan" masing-masing. Kalau yang pro-Jokowi biasa dipanggil cebong, bani taplak atau jokower. Golongan oposisi biasa dipanggil kaum sumbu  pendek, kaum bumi datar dan lain-lain. Mungkin masih ada nama lain yang tidak sempat saya rekam. Setiap panggilan tentu punya sejarah masing-masing, tapi tidak perlu dibahas di sini. Yang jelas panggilan satire ini diciptakan oleh golongan yang berseberangan dengan maksud saling mengolok atau menyerang satu sama lain.

Panggilan Kesayangan

Saya jadi ingat masa-masa remaja dulu dengan segala dinamikanya. Di antara teman-teman sepermainan, kami juga punya "panggilan kesayangan". Bahkan sering sampai mencatut beberapa nama penghuni kebun binatang, atau bahkan menyebut nama bapak. Yang terakhir ini agak ekstrim memang. Bagi kawan lain, panggilan-panggilan itu terkesan mengolok-olok. Tapi karena panggilan itu berada di dalam lingkungan perkawanan, rasa tersinggung atau sakit hati sudah tidak berlaku lagi karena rasa solildaritas dan persahabatan lebih besar pengaruhnya. Memang kadang-kadang ada juga teman yang tersinggung dengan panggilan kesayangan dari teman lainnya bahkan sampai adu jotos, tapi jika itu yang terjadi, pasti sebelumnya sudah ada masalah antara keduanya. Panggilan kesayangan itu hanya memicu saja.

Sama seperti makian telaso di Makassar, atau jancuk di Jawa Timur. Jika dialamatkan pada orang yang baru dikenal atau orang yang tidak dikenal sama sekali, panggilan itu bisa menimbulkan perkelahian. Tapi jika dialamatkan untuk sahabat, justru menandakan persahabatan keduanya sudah cukup kental.

Saya juga berharap panggilan-panggilan seperti cebong, kaum sumbu pendek, bumi datar, bani taplak dan lain-lain itu pun pada akhirnya akan jadi "panggilan kesayangan" seperti di atas.

Memang persahabatan yang terjadi di dunia nyata tidak akan persis sama dengan di dunia maya. Tapi alangkah indahnya jika setiap pihak yang saling serang opini dan adu argumen menganggap panggilan-panggilan satire tersebut pada akhirnya jadi bumbu percakapan antara dua pihak yang berseberangan saja. Bukankah perbedaan pendapat dan pandangan itu wajar? Yang penting tidak berujung pada permusuhan dan perpecahan.

Ini Pesannya

Fenomena di dunia maya tidak bisa dianggap remeh, karena bagaimanapun juga opini yang berseliweran di media sosial adalah akumulasi pemikiran-pemikiran kita yang hidup di dunia nyata. Oleh karena itu setiap orang mestinya mawas diri terhadap setiap kicauan atau status yang bisa memecah belah dan menyesatkan pola pikir pembacanya.

Framing, hoax, hate speech dan aneka postingan negatif lainnya selalu bisa kita temukan dari kedua golongan. Akan jadi masalah jika pembaca menanggalkan kekritisannya dan menerima begitu saja postingan negatif tersebut mentah-mentah, terutama jika sejalan dengan arus utama golongannya.  Untuk menangkal postingan negatif sebaiknya setiap kali usai membaca kita menalarnya dengan baik dan mencari informasi pendukung. Jika postingan tersebut tertaut dengan portal berita atau artikel, tidak ada salahnya membuka portal tersebut untuk membaca berita atau artikelnya dengan utuh. Kadang saya mendapati judul (apalagi ditambah opini si penyebar) tidak sinkron dengan esensi dalam berita atau artikelnya.

Kalau cara-cara di atas masih sulit dilakukan karena keterbatasan waktu (dan kuota), yang paling adalah jangan pernah membenci dan dendam pada sesama anak bangsa hanya karena apa yang ditulisnya di sosial media. Ini frase kuncinya.

Saat ini negara-negara yang sedang bersusah payah membenahi imbas konflik berkepanjangan sedang menaruh perhatian kepada negara kita. Mereka berharap Indonesia tetap menjadi contoh negara berpenduduk mayoritas muslim yang toleran dan damai.

Ada video singkat yang sedang beredar di twitter berisi pidato dari Presiden Jokowi. Bapak Presiden belum lama ini mendapat pesan dari Presiden Afghanistan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan di dalam umat dan masyarakat. Menurut beliau, awalnya di Afghanistan hanya ada dua kelompok yang bertikai. Tapi karena tidak ditangani dengan baik, pertikaian kedua kelompok ini akhirnya menyeret negara-negara lain yang punya kepentingan untuk masuk dan akhirnya Afghanistan luluh lantak. Konflik tersebut pun melahirkan semakin banyak kelompok yang bertikai. Saat ini pemerintah setempat sedang berjibaku untuk merukunkan kembali kelompok-kelompok tersebut.

Kita tidak ingin kejadian tersebut menimpa negara kita tercinta. Negara kita yang besar dengan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang melimpah membuat kita menjadi incaran banyak negara lain. Jika mereka tidak mampu mengeruk keuntungan dengan cara-cara yang legal, mereka pasti akan menempuh cara lain yang ilegal. Caranya pun tidak hanya secara langsung seperti eksploitasi dan pencurian, tapi bisa secara tidak langsung dengan menyerang integrasi masyarakat kita yang plural lalu mencari celah saat kita lengah. Kiat mengantisipasinya yaitu dengan menjunjung tinggi persatuan bangsa.  

Sekali lagi, jangan sampai kita terpecah belah hanya karena berbeda pendapat dan pandangan. Kita bani taplak, kita sumbu pendek, kita Indonesia.

Salam Kompasiana (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun