Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bocah di Bawah Payung

9 Maret 2017   16:56 Diperbarui: 10 Maret 2017   02:00 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam membawa bulir-bulir hujan ke atas kota metropolitan. Pandangan memburam. Warna-warni cahaya lampu kendaraan dan neon box meluruh dalam satu frame seperti mozaik yang dihadirkan peradaban.

Seorang bocah lelaki di bawah payung tidak larut dalam air mata langit itu, malah nampak gembira karena hujan berarti berkah. Payung tua berwarna jingga yang sedang mekar menegarkan diri dari terpaan angin malam, seperti terbakar semangat bocah sang empunya payung.

Seorang wanita muda yang mengenakan blues di depan pintu toko buah pada pertokoan seberang jalan memanggil dirinya. Bocah yang beberapa bulan lagi berusia delapan itu berlari girang. Satu panggilan seperti itu berarti sakunya akan terisi paling tidak dua ribu rupiah. Umpatan seorang pengendara mobil yang mesti mengerem mendadak juga panggilan dari bocah sebayanya tak dihiraukannya lagi.

“Nak, sampai di rumah makan yang sana, ya,” ucap wanita muda sembari menunjuk neon box sebuah restoran Itali yang menyembul di antara belasan neon box lainnya kurang lebih seratus meter di sebelah barat mereka.

Bocah mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menembus tirai-tirai hujan yang semakin rapat. Untunglah bocah membawa payung cadangan yang lebih kecil dan nampak lebih uzur dari payung jingga yang kini berada di tangan wanita muda.

Rejeki sedang berpihak kepada si bocah. Setelah sampai di rumah makan yang dituju, dia disodori uang dua puluh ribu rupiah untuk jasanya dan wanita itu meminta bocah menyimpan kembaliannya.

 Setelah itu seorang bapak bertubuh tambun, yang sejak tadi berdiri di teras restoran dan melihat gelisah ke arah jam tangannya juga ikut memanggilnya.

“Nak, sampai di halte depan toko Velvet, ya?”

Bocah itu berpikir sejenak.

Agak jauh, tapi tidak apa-apa lah, batinnya. Dia pun mengangguk. Dalam sekejab payung jingga kembali berpindah tangan. Pria tambun berjalan tergesa-gesa, dan bocah mengekor dengan sabar.

Setelah pria bertubuh tambun, payung itu kembali perpindah ke tangan seorang wanita tua berkacamata tebal, lalu kepada seorang mahasiswi yang baru turun dari mikrolet, seorang bapak yang sedang menunggu taksi online, sepasang pemuda-pemudi yang sepertinya akan menghadiri resepsi mewah dan beberapa orang lain lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun