Kamu diam saja saat bintang terakhir meredup. Rambut merahmu yang panjang sewangi melati bergeming. Biasanya tiga pasang sayapmu segera bergetar melambungkan tubuhmu dari bumi ke awan-awan saat kegelapan nyaris menguasai langit. Kali ini tidak. Mungkin kamu sekarang berkawan dengan gelap sekarang. Tapi sepertinya bukan, kamu sedang kecewa.
Terlihat jelas dari gelas berisi sel-sel darah peri yang terbaring pasrah, menumpahkan isinya beberapa saat lalu. Kamu membiarkan cairan berwarna biru metalik tersebut hilang dibawa angin malam, sebagian lagi diserap tanah berpasir. Kamu tertunduk, menyembunyikan kepala dibalik kedua lutut dan dekapan tanganmu. Malam semakin larut dan kegelapan semakin pekat.
Sekarang aku menyadarinya. Rupanya bukan karena kecupanmu bintang-bintang itu berpendar dan meredup. Bukan. Jiwa bintang-bintang terikat denganmu. Semakin bahagia dirimu, semakin benderang cahaya mereka, begitu pula sebaliknya.
Kamu menatapku dalam-dalam lalu kembali membenamkan kepalamu. Sesaat aku melihat cinta yang hancur luruh dalam tatapanmu, seperti bintang-bintang yang luruh disapu badai kosmis.
Aku tahu kemana harus pergi sekarang. Aku pun melangkahkah kaki ke suatu rumah di bawah rimbunnya cendana.
“Apa yang kamu lakukan?” hardikku menahan amarah. “Kamu baru saja melukai hatinya!”
Pria berwajah kokoh dengan mata sebening embun itu nampak ketakutan.
“Aku tidak bisa bersama dengannya. Aku seorang manusia dan dia… dia…”
“Mengapa baru merisaukannya sekarang? Dia sudah mengorbankan sebagian hidupnya untuk kamu!”
Pria itu menatap tak percaya lalu berlari meninggalkanku dan kesepian.
***