Kamu diam saja saat bintang terakhir meredup. Rambut merahmu yang panjang sewangi melati bergeming. Biasanya tiga pasang sayapmu segera bergetar melambungkan tubuhmu dari bumi ke awan-awan saat kegelapan nyaris menguasai langit. Kali ini tidak. Mungkin kamu sekarang berkawan dengan gelap sekarang. Tapi sepertinya bukan, kamu sedang kecewa.
Terlihat jelas dari gelas berisi sel-sel darah peri yang terbaring pasrah, menumpahkan isinya beberapa saat lalu. Kamu membiarkan cairan berwarna biru metalik tersebut hilang dibawa angin malam, sebagian lagi diserap tanah berpasir. Kamu tertunduk, menyembunyikan kepala dibalik kedua lutut dan dekapan tanganmu. Malam semakin larut dan kegelapan semakin pekat.
Sekarang aku menyadarinya. Rupanya bukan karena kecupanmu bintang-bintang itu berpendar dan meredup. Bukan. Jiwa bintang-bintang terikat denganmu. Semakin bahagia dirimu, semakin benderang cahaya mereka, begitu pula sebaliknya.
Kamu menatapku dalam-dalam lalu kembali membenamkan kepalamu. Sesaat aku melihat cinta yang hancur luruh dalam tatapanmu, seperti bintang-bintang yang luruh disapu badai kosmis.
Aku tahu kemana harus pergi sekarang. Aku pun melangkahkah kaki ke suatu rumah di bawah rimbunnya cendana.
“Apa yang kamu lakukan?” hardikku menahan amarah. “Kamu baru saja melukai hatinya!”
Pria berwajah kokoh dengan mata sebening embun itu nampak ketakutan.
“Aku tidak bisa bersama dengannya. Aku seorang manusia dan dia… dia…”
“Mengapa baru merisaukannya sekarang? Dia sudah mengorbankan sebagian hidupnya untuk kamu!”
Pria itu menatap tak percaya lalu berlari meninggalkanku dan kesepian.
***
Bintang terakhir benar-benar padam. Kegelapan malam telah menguburmu dalam-dalam.
Pria itu mencari semalam-malaman dan berharap menemukanmu sebelum fajar datang menguapkan atmamu. Tapi sampai lelah menghampiri, kerja kerasnya tidak membuahkan apa-apa.
Aku menunduk nanar, entah harus marah atau bersedih.
“Kamu harus bertanggung jawab kepada cinta yang dipertaruhkan dengan sia-sia…”
Pria itu memungut gelas yang terhampar. Masih terlihat sedikit cairan biru metalik yang tersisa begitu gelas tersebut disodorkan ke depan bibirku. Sekali teguk isi gelas langsung tandas di dalam mulutku.
***
Aku memandang cermin dan melihat wajahku sendiri, wajah pria yang telah menyia-nyiakan cinta sedalam itu. Pria itu terperangkap dalam diriku, dia adalah aku.
***
Bintang-bintang kembali mengusir kegelapan. Pada saat satu atau dua bintang meredup, aku harus mengepakkan tiga pasang sayap yang muncul begitu saja dari tulang punggungku, melesat ke angkasa di antara awan-awan dan mengecup bintang-bintang itu untuk membuat mereka berpendar kembali. Aku harus melakukannya dengan riang hati. Hanya dengan cara itulah aku menebus kesalahan di masa lalu.
____
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H