“Kamu lagi mabuk, ya?”
Pertanyaan itu bukan dijawab, malah dia menonjok perutku mesra.
“Mm…,” gumamku, mencoba menetralkan debaran jantung. Untunglah kantin cukup sepi siang ini. Bisa jadi trending topic kalau ada kawan kantor yang menangkap basah kemesraan kami ini. “…tadi kamu sudah nanya-nanya kehidupan aku. Sekarang giliran aku ya…”
“Bagaimana ya, Mas. Sebenarnya aku ini orangnya introvert loh. Aku risih menceritakan kehidupan pribadiku pada orang lain. Ya kecuali pada sahabat dekat atau… kekasih.”
“Oh begitu. Jadi bagaimana kalau kita pacaran saja?”
Degh! Ingin rasanya aku memaki lidah dan bibir yang suka ngomong tanpa rem ini. Andien mengangkat kepalanya lalu menatapku penuh arti. Habis deh, pasti wajahku saat ini sedang merah padam... atau malah ijo royo-royo.
“Itu serius atau bercanda, Mas Alif?”
Bola panas dilemparkan kepadaku. Aku sadar suatu saat memang harus jujur kepadanya tentang perasaanku.
“Baiklah, Andien. Aku jujur. Aku sayang sama kamu. Hanya tidak nyangka tempat nembaknya jadi seperti ini. Aku membayangkan tempat lain yang lebih romantis, tetapi yah mau bagaimana lagi? Kamu juga sih tadi mancing-mancing jadinya…”
Andien menempelkan jari telunjuknya di bibirku.
“Mas Alif sayang sama aku?”