Jam 12 tepat, aku sudah berada di depan meja kerja Andien yang kosong melompong. Mira, teman sedivisi Andien yang matanya seperti mata Squidward itu memandang acuh tak acuh lalu berkata,
“Andien lagi di kamar mandi. Baru saja….”
“Oh begitu. Baiklah.”
Aku pun balik kanan dan buru-buru keluar menuju ke kantin favorit yang tidak jauh dari kantor. Perut sudah konser minta diisi soalnya. Tentu tidak lupa mengabari posisi terakhir kepada Andien via WA, siapa tahu dia berniat menitip makan siangnya.
Kantin langganan kami ini sebenarnya cukup representatif. Awalnya adalah sebuah rumah ukuran sedang di pinggir jalan. Lalu ruang tamunya disulap jadi ruang makan yang cukup lega, dengan 5 meja yang bisa diisi 4 orang dan satu meja panjang yang bisa diisi ya… 7-8 orang. Bisa juga diisi 15 orang, kalau yang makan balita semua. Hehe… Kemudian 6 bulan lalu pemilik kantin mengganti kipas-kipas angin dengan dua buah Air Conditioner, demi kenyamanan pelanggan. Bagian depan rumah juga direnovasi. Pintunya diganti dengan rolling door yang disusul dengan pintu kaca. Komplit sudah.
Eh, si manis gigi kelinci itu ternyata menyusul. Dengan elegan dia membuka pintu, masuk, lalu duduk di sampingku. Senyumnya kembali merekah. Dan yang membuat pangling adalah setelan kantornya. Blazer merah maroon dengan bawahan senada, dalamannya putih dengan payet-payet hijau muda, plus syal tipis berwarna kelabu. Aku pernah melihat mode seperti ini, hanya lupa di majalah atau internet. Benar-benar cantik dan classy. Jangan lupa, aroma parfumnya kembali membelai indra penciuman.
“Mas Alif sudah pesan ya? Kok melotot begitu sih, Mas?” tanyanya bertubi-tubi.
“Oh, kelihatan banget ya kalau aku pangling? Hehe.”
“Iya…, “ sahutnya centil.
“Habis kamu siang ini kelihatan… beda. Manis dan cantik… Ini setelan baru ya?”
Dia tersipu-sipu, seperti kucing yang tertangkap basah sedang ngincer tulang ikan.