“Saya, Pak Kadus. Nunung…”
Beberapa warga berteriak riuh. Mereka tahu, si Nunung ini memang sudah lama tidak suka sama Landoh. Ada yang bilang gara-gara kisah cinta yang belum kelar di masa lalu.
“Hmm…. kamu, Nung. Ayo cerita bagaimana kejadiannya?”
Sebelum memulai, Nunung memandang Landoh tajam. Landoh hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Tadi malam saya lihat dari balik jendela, si Landoh itu mengendap-endap di dekat rumah Pak Oploh, persis di dekat tumpukan papan. Nah, tadi pagi ketahuan kalau papan-papan Pak Oploh hilang dicuri orang. Siapa lagi coba yang punya kepentingan kayu perkayuan kalau bukan dia, Pak Kadus?”
Kepala dusun mengalihkan pandanganannya ke Landoh. Dia kembali melambaikan tangan, lalu menyahut
“Tadi malam memang giliran saya yang ronda, Pak Kadus, berdua dengan si Otong. Tapi pas lewat depan rumah pak Oploh, si Otong sedang mampir kencing di semak-semak, jadi mungkin Nunung melihat saya hanya sendiri. Tapi sumpah, saya tidak sampai masuk ke halaman Pak Oploh. Saya juga tidak mengendap-ngendap…,” Londoh membela diri.
Otong yang duduk di barisan depan warga mengangguk-angguk membenarkan.
“Kamu lihat ada yang mencurigakan di sekitar rumah Pak Oploh? Papannya masih ada di sana nggak?” tanya kepala dusun lagi.
“Wah, saya tidak merhatiin itu, Pak. Kalau yang mencurigakan… tidak ada!”
Kepala dusun kembali memandang Nunung.