“Indonesia?”
“Ya…”
“Oh, tidak bisa! Aku sedang bergairah terhadap negara itu…”
“Tapi bukankah masyarakatnya sangat religius?”
“Yap. Tapi hanya religius kelas 17. Religius kulit kacang saja dan… bersumbu pendek. Itu memudahkan pekerjaanku. Lihat saja mereka beberapa waktu ini. Ahli agamanya terpecah belah, umatnya saling mengolok, gampang diadu domba, radikal dan susah memaafkan. Apalagi mereka akan menghadapi pilkada, rasanya sebentar lagi aku sukses menguasai negara itu.”
Gorad terdiam. Warna tanduknya menggelap pertanda semakin tidak bersemangat.
“Sudahlah, Sobat. Terima saja titah panglima… Siapa tahu kamu malah menemukan keberhasilan di sana, bukan?”
Gorad mengangguk lemah.
Tak lama kemudian, dia pun berpamitan. Cheffez memandang kepergian sobatnya itu sambil menggelengkan kepala.
Dia lalu memandang salah satu jam besar di antara jam besar lainnya di sepanjang dinding selatan istana, lalu berkata di dalam hatinya,
Ah, di Indonesia bagian tengah sekarang sudah pukul 17.10, waktunya main twitter dan facebook.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H