“Aku mengerti. Aku akan membawamu pulang…”
Aku terkejut tapi tetap berusaha untuk tenang.
“…tapi kamu akan pulang ke rumah yang sebenarnya, Alexandra.”
Pria itu menyunggingkan senyum hangat. Aku paham saat ini. Wanita yang tertidur, hujan bunga dan pria berwajah sesejuk embun adalah kepingan mozaik yang sebentar lagi menyempurnakan lukisan hidupku.
“Aku masih punya banyak pekerjaan yang belum diselesaikan.”
“Biarlah itu jadi urusan mereka…”
Aku mengangguk pasrah, lalu menggamit lengan pria itu.
“Kamu tidak ingin berpamitan pada ragamu?” tanyanya menggodaku.
Aku melihat ke kamar dan memandang wanita yang terbaring tenang. Seperti memandang cermin saja rasanya.
Seorang perawat masuk dan memandang monitor yang tersambung pada alat-alat penunjang kehidupannya. Perawat itu membelalak karena terkejut.
Beberapa detik kemudian yang lain menghambur masuk ke ruangan dengan ekspresi yang sama. Aku lalu terpana melihat betapa gigihnya mereka berjibaku mempertahankan nafas-nafas penghabisan seorang anak manusia.