Aku sedang berjaga di kamar rumah sakit. Seorang wanita setengah baya terbaring di situ. Masih tersisa kecantikan masa muda di sudut-sudut wajahnya. Sekalipun saat ini dia sedang tertidur selelap bayi, aku tahu dia sudah berbulan-bulan menahan sakit yang menggerogoti lambung dan mimpi-mimpinya.
Sementara itu dari balik kaca jendela nampak hujan November sedang mengguyur kota. Aku pun menyibak tirai dan menyingkap kaca itu untuk membiarkan aroma petriochor mengisi rongga penciumanku.
Begitu kaca jendela terbuka lebih lebar, aku baru menyadari yang berjatuhan dari awan-awan bukan hujan melainkan kuntum melati dan mawar.
Balkon kamar pun penuh dengan tumpukan kuntum putih dan merah. Aku berharap wangi kedua bunga favoritku itu segera menyusul memenuhi penciumanku, tetapi aku salah. Bukan aroma melati atau mawar yang tercium, tetapi aroma kopi latte.
Aneh.
Tapi aku benar-benar menikmati setiap sensasi keanehan ini, sampai seorang pria berwajah seperti embun berdiri di sisi balkon dan menatap mataku.
Ada godaan untuk menanyakan siapa nama pria itu. Tapi melihat keteduhan yang terpancar dari wajahnya, sepertinya segala pertanyaan sirna seketika.
Malah dia yang bertanya kepadaku.
“Kamu masih betah di sini, Alexandra?”
Dia juga tahu namaku. Aku mengangguk. Lalu menggeleng.
“Aku rindu kopi latte. Aku rindu rumah.”