Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[Basalto Terakhir] Zoram

30 Juni 2016   15:51 Diperbarui: 30 Juni 2016   16:01 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari: guides.gamepressure.com

Cerita sebelumnya: [Basalto Terakhir] Penyihir Misterius

---

Pasar Zoram adalah pasar rakyat terbesar se-Gopalagos yang menghampar di pesisir kota dengan nama yang sama, kota terbesar di kerajaan Zatyr. Pasar ini tidak pernah sepi, kecuali pada hari-hari besar untuk menghormati dewa-dewa tertentu.

Bahkan pada senja menjelang malam seperti ini, pembeli masih saja berdatangan dan penjual masih masih betah menjajakan dagangannya. Rupa-rupa dagangan bisa kita temukan dengan mudah di pasar ini, mulai dari hasil pertanian, ikan dan daging segar maupun yang diasapkan, perhiasan, pernak-pernik, pakaian, senjata sampai bahan-bahan untuk membuat ramuan sihir, seperti sisik naga dan empedu Er.

Dari rupa-rupa dagangan yang digelar, mudah ditebak jika penjual dan pembelinya bukan hanya dari manusia non-sihir saja. Banyak penyihir yang juga mencari hidup dari keramaian pasar ini. Interaksi antara kaum sihir dan non-sihir ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, dan selama ini tidak pernah terjadi masalah dengan kebersamaan itu. 

Mari kita melewati lorong-lorong yang sesak dan sesekali becek menuju ke bagian belakang pasar, tempat tenda-tenda berisi penjual kudapan berdiri.

Lebih ke belakang lagi, ada sebuah tenda berukuran sedang kecil berisi bocah-bocah yang menonton pertunjukan sulap kelas pinggiran jalan.

Sang pesulap yang sudah dimakan usia memakai jubah hitam butut dengan topi lancip berbau apek. Jubah lebarnya begitu kontras dengan tubuhnya yang ceking dan jemari yang kurus seperti ranting meranggas. Pesulap itu tak lain adalah penyihir yang sudah bertahun-tahun mencari nafkah dengan pertunjukkan sihir yang dikemas menjadi sulap.

Namun para orang tua senang. Karena mereka suka menitip anak-anak mereka di situ selagi mereka berbelanja sepuasnya lalu pada saat kembali mereka cukup membayar dengan beberapa Durha saja. Durha adalah mata uang yang lazim digunakan di kerajaan Zatyr dan beberapa kerajaan sekitar.

Sebentar lagi pertunjukan akan ditutup, sehingga sang pesulap sampai pada pertunjukan pamungkasnya. Sebelum itu dia mengeluarkan beberapa ekor kelinci dari dalam topi lancipnya dan membuat mulut belasan anak yang duduk beralas karpet kumal membulat seperti mata ayam.

Beberapa orang dewasa, orang tua anak-anak itu, mulai memasuki tenda satu demi satu karena mengetahui kalau pertunjukan dan tenda pesulap akan segera ditutup. Tenda jadi semakin sesak dan panas.  Asisten pesulap, seorang remaja berambut kuning barisan jerawat sebesar butiran jagung di pinggir-pinggir pipinya juga sudah bersiap-siap dengan kotak uang di dekat orang-orang dewasa itu.

“Nah, anak-anak bersiap-siaplah untuk pertunjukan terakhir yang… menegangkan!” pesulap itu mencoba membuat suasana jadi mencekam, namun malah jadi terdengar lucu karena suaranya yang serak seperti gagak sekarat.

“Mm… untuk pertunjukan ini aku butuh seorang relawan, orang dewasa dari penonton. Ada yang bersedia?”

Suasana mendadak hening. Anak-anak berbalik  ke belakang mereka untuk mengamati siapa kira-kira orang dewasa yang terpilih.

Saat itu di antara penonton ada seorang pria kekar dan memakai baju kulit yang memamerkan otot lengannya. Pria itu berkepala plontos dengan kumis dan janggut dipangkas tipis, berdiri di sisi kanan barisan orang dewasa.

“Bagaimana dengan anda, Tuan?”

Pesulap menunjuk pria kekar itu.

“Dari pantulan cahaya pelita aku bisa melihat ketulusan hati anda. Anda bisa jadi orang yang tepat untuk sulap ini. Kemarilah, Tuan.”

Pria itu pun melangkah maju dengan mantap.

Sesampainya di samping pesulap dia ditugaskan memegang dengan kedua tangannya sebuah pot tanah liat berisi air. Pesulap itu lalu berbisik,

“Anda tidak perlu takut, Tuan. Percaya saja padaku, tidak akan terjadi apa-apa pada anda.”

Pria berkepala plontos mengangguk.

“Anak-anak, kalian pernah melihat ular?” tanya pesulap lagi.

“Pernaaah…!” jawab bocah-bocah itu hampir serentak.

“Sebesar apa?”

Bocah-bocah itu menjadi gaduh, karena masing-masing menjawab. Beberapa menunjukkan tangannya untuk menggambarkan ukuran ular yang pernah dilihatnya.

“Baiklah. Perhatikan baik-baik. Aku akan mengeluarkan ular dari dalam pot ini…”

Pesulap mengedipkan sebelah matanya ke pria berkepala plontos.

“…lalu ular itu akan berjalan mengelilingi badan pria besar ini, dan setelahnya masuk kembali ke dalam pot. Bagaimana?”

Terdengar gumam kekaguman dari anak-anak itu. Beberapa orang dewasa menatap pesulap dengan pandangan tak percaya.

“Ya… ya… ya, aku bisa melakukannya,” ucap pesulap itu lagi diikuti tawa seraknya.

“Baiklah kita akan segera mulai…”

Tentu saja sulap itu hanya trik sihir saja. Jika kelinci-kelinci yang keluar dari topi tadi adalah kelinci sebenarnya yang dipindahkan dengan kekuatan sihir, kali ini pesulap akan sihir ilusi untuk memanipulasi pandangan mata penontonnya. Dia bukan pertama kali melakukannya, tapi tetap saja butuh energi sihir yang besar jika dilakukan di depan puluhan pasang mata orang sekaligus.

Dia pun mengambil tongkat kayu sepanjang lengan pria dewasa, untuk membantunya memfokuskan energi sihir.

“Nah, anak-anak sekalian, dengar baik-baik,” kali ini suara pesulap terdengar memberat.

“Apapun yang terjadi nanti, aku minta kalian tetap tenang. Kalian boleh terkejut, kalian boleh terpesona, tapi kalian tidak boleh bergeser dari tempat duduk kalian sedikit pun dan melakukan hal-hal berbahaya, sampai seluruh sulap selesai. Pesan ini juga untuk para orang tua. Ini penting untuk dipahami. Apa kalian mengerti?”

Anak-anak itu mengangguk-angguk diikuti beberapa orang dewasa.

Pesulap itu pun mengarahkan ujung tongkatnya ke atas pot dalam genggaman pria berkepala plontos. Matanya terpejam, dan bibirnya yang setengah keriput bergerak-gerak pelan. Dia sedang membaca beberapa barisan mantra perlahan sambil memfokuskan energi sihirnya. Dia pun menyentakkan ujung tongkatnya.

(bersambung)

---

Pertama kali ditayangkan di blog

dalam rangka event #Tantangan100HariMenulisNovelFC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun