Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

[Basalto Terakhir] Tangisan Viona

8 Juni 2016   19:08 Diperbarui: 8 Juni 2016   19:14 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari: themodernmage.com

Cerita sebelumnya: [Basalto Terakhir] Rahasia Terkelam Basalto

----

“Kami tidak akan pergi sebelum mendapatkan benda-benda sialan itu!” sahut Ruby.

“Kami bersikeras karena kami peduli, Thores. Jika Guru masih hidup dia pasti akan melakukan hal yang sama,” sambung Emerald.

“Guru sudah tidak ada lagi, jadi jangan mencatut namanya! Lagipula, guru lebih mempercayai aku untuk mengurus padepokan ini dibanding salah satu dari kalian.” Nada suara Basalto semakin tinggi.

“Masih tidak mengertikah kamu, Thores? Guru tidak mau meninggalkanmu karena dia khawatir hal seperti ini akan terjadi… dan hari ini ketakutannya terbukti!” Nada Ruby juga terdengar semakin tidak ramah.

Mata Basalto berkilat-kilat menahan amarah mendengar itu.

“Ah, sudahlah, Kawan. Kamu ingin masalah ini selesai dengan mudah, bukan? Caranya memang mudah, berikan kepada kami emas hitam itu, lalu kami akan pamit baik-baik, percayalah.” Ametys angkat bicara.

“Pendirianku masih sama seperti pada awal pembicaraan kita tadi. Aku tidak akan memberikannya kepada kalian.”

Emerald tertunduk, lalu tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di benaknya. Dia pun kembali menghardik Basalto.

“Katamu tadi tidak mengusik kami, Thores. Tapi bagaimana dengan kitab sihir yang diberikan oleh mendiang guru Shandong?”

Basalto nampak sedikit terkejut. Ruby menajamkan pandangannya.

“Ya, teruskan, Kesha. Aku akan berusaha membaca pikirannya. Saat ini dia sedang rentan,” gumamnya.

“Apa maksudmu?” seru Basalto lagi.

“Aku tidak berhenti mencari, tapi sampai hari ini aku tidak menemukan pencuri kitab itu. Tidak kusangka pelakunya ternyata kawan sendiri. Padahal mestinya sesama kawan harus saling menjaga.”

“Tak salah lagi,” ucap Ruby. “Thores pelakunya. Kitab itu disimpannya pada salah satu tempat di dalam padepokan, sepertinya jika kita berhasil menemukan emas hitam, kita juga akan menemukan Kitab sihir milikmu.”

Basalto kembali terkejut. Lagi-lagi dia kecolongan. Ruby barusan berhasil menembus pikirannya.

“Kembalikan kitab sihirku sekarang, Thores!” seru Emerald. “Apa yang kamu pikirkan?”

 Basalto merasa tidak ada gunanya lagi bersandiwara. Dia pun tertawa terbahak-bahak.

 “Aku punya cita-cita besar, Kawan. Aku ingin menyatukan seluruh kaum sihir di Gopalagos dalam satu kerajaan tunggal. Bayangkan kekuatan besar yang bisa dihimpun jika mimpi itu terwujud. Selama ini kaum sihir hidup terpisah-pisah dan seringkali disisihkan dan diperlakukan semena-mena oleh manusia non-sihir. Cukup sudah cerita itu. Aku ingin kembali menegakkan martabat kaum sihir di benua ini. Maaf jika aku harus melukai prajurit-prajuritmu, Kesha. Pasti akan ada korban pada sebuah revolusi.”

“Jangan sampai cita-citamu itu memakan lebih banyak korban. Kami akan selalu berada paling depan untuk menjaga kedamaian antara kaum sihir dan manusia,” Emerald menghardik lagi.

“Aku menghargai kedamaian dan juga akan menjaganya. Tentu dengan caraku sendiri. Dan aku berjuang sendiri karena melihat kalian tidak memiliki visi yang sama denganku.”

Emerald, Ametys dan Ruby terlihat putus asa. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk merubah pikiran Basalto.

“Hentikan!”

Suara itu membuat ketegangan yang sudah sampai di ubun-ubun mereda sejenak. Mereka semua berpaling ke arah datangnya suara. Suara itu milik Viona yang telah berdiri bersama Daestar di dekat istana. Ratu kerajaan Basalto itu nampak ketakutan dan mendekap erat-erat Daestar di dadanya. Sementara itu, Daestar yang polos belum bisa sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi di tempat itu.

“Apa yang kalian lakukan?”

“Viona…!” Basalto nampak terkejut. Dia tidak peduli lagi tata krama dengan langsung memanggil nama istrinya. Padahal saat itu dia berada di depan prajurit-prajuritnya.

“Cepat tinggalkan tempat ini. Bawa Daestar sejauh mungkin!”

Viona menggeleng. Terlihat bulir bening mulai mengalir dari sudut-sudut matanya. Dia terlihat begitu cemas. Basalto menunduk lalu kembali menatap mata istrinya dalam-dalam. Dari kejauhan mereka berbahasa lewat pandangan mata. Basalto mencoba mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Tapi Viona tetap terlihat cemas.

-----



(bersambung)

Pertama kali ditayangkan di blog planet-fiksi.blogspot.com dalam rangka event

#Tantangan100HariMenulisNovelFC 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun