Siang terik menyapa kota. Matahari baru saja menguapkan cerita tentang “saudara tua” yang menyerah di tangan pasukan sekutu. Tapi gema letusan-letusan bedil seperti masih terngiang-ngiang di gendang pendengaran. Aroma peperangan juga belum bisa sepenuhnya pergi dari penciumanku.
Siang ini aku berjalan penasaran menyusuri pinggir jalan Tunjungan. Insting dan desas desus di ujung pagi membawaku ke tempat ini.
Dari kejauhan, semakin nampak kerumunan manusia di depan sebuah gedung, hotel peninggalan Belanda yang setelah diambil alih Jepang diberi nama hotel Yamato. Aku seketika kembali mencium hawa mencekam dari sana.
“Heh, kamu!” suara itu mengejutkanku.
“Kesini sebentar.”
Aku pun menyimpangkan langkah, berjalan menuju sosok lelaki setengah baya berpeci yang duduk di atas sebuah ban bekas.
“Mau apa kamu ke sana?” tanyanya. Suaranya sedikit kasar.
“Melihat-lihat keadaan, Pak,” sahutku.
Setelah mendekat barulah lebih jelas terlihat keadaan sebenarnya bapak itu. Ternyata sebelah kakinya telah tiada, hilang dibalik celana panjang hitam yang dikenakannya. Sebuah tongkat bersandar pasrah di bahunya. Dia cacat tapi gurat-gurat wajahnya menyiratkan ketegaran dan keberanian.
“Jangan ke sana dulu. Keadaan masih genting. Kamu bisa melihat-lihat keadaan dari sini.”
Hotel Yamato kini sekitar 100 meter dari tempat kami. Pada lantai paling atas hotel itu bendera Belanda berkibar-kibar angkuh. Ternyata desas-desus itu benar adanya. Pada pintu hotel nampak beberapa serdadu Jepang sedang berjaga-jaga. Walaupun aku yakin kalau arek-arek penuh amarah itu menyerbu masuk, mereka tidak bisa berbuat banyak.
“Mengapa bendera Belanda bisa berkibar di sana?” tanyaku.
“Sepertinya mereka menyusup di antara delegasi sekutu yang datang untuk menyelesaikan urusan perang dengan Jepang di sini.”
“Tapi kita harus bertindak, bukan?”
“Ya. Residen Soedirman saat ini sedang berunding dengan orang-orang Belanda di dalam sana.”
“Berunding? Bukankah jelas-jelas mereka ingin kembali berkuasa?”
“Aku juga geram dibuatnya, Nak. Tetapi kita bangsa yang bermartabat. Diplomasi juga adalah salah satu senjata dalam perang, bukan? Kita tetap punya pilihan senjata-senjata lain yang akan digunakan bila saatnya tiba.”
Aku terdiam membenarkan perkataan bapak ini.
“Perbincangan ini membuat aku kembali bersemangat. Sayangnya beberapa tahun lalu, terjangan peluru membuat salah satu kakiku harus diamputasi. Ayo, Nak. Bantu aku berjalan ke sana.”
Obrolan kami terhenti ketika samar-samar terdengar suara letusan senjata. Lalu terdengar hiruk pikuk dari arah hotel.
“Sudah dimulai…,” kata bapak itu. Matanya berkilat-kilat.
“Ayo, Nak.”
Aku pun memapahnya dan kami berjalan bersama-sama. Dengan kondisi seperti ini, perjalanan ke arah hotel jadi sedikit lambat. Sambil terus bergerak kami bisa melihat situasi semakin tak terkendali. Arek-arek menghambur masuk ke dalam hotel. Terdengar teriakan-teriakan patriotik di sana-sini. Serdadu Jepang pun tidak berdaya mengendalikan gelombang kemarahan itu.
“Ayo, Nak. Lebih cepat….”
Kami semakin mendekat. Darahku mendidih. Bukan karena matahari tetapi karena dibakar semangat yang menggebu-gebu.
Beberapa orang pemuda berhasil naik ke tingkat atas hotel dan buru-buru menurunkan bendera tiga warna itu. Kami semua berteriak memberikan dukungan dari bawah. Tak lama kemudian, bendera yang sama kembali bergerak naik dan berkibar. Tapi kali ini, warna birunya telah hilang, menyisakan merah putih, lambang keberanian dan kemurnian perjuangan kami. Kami semua bersorak gembira.
Aku melihat bulir-bulir bening mengalir dari sudut mata bapak di sampingku.
--------
pertama kali ditayangkan di wall facebook group fiksiana community
dalam rangka event
#BelajarBareng
#LatarCerita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H