“Mengapa bendera Belanda bisa berkibar di sana?” tanyaku.
“Sepertinya mereka menyusup di antara delegasi sekutu yang datang untuk menyelesaikan urusan perang dengan Jepang di sini.”
“Tapi kita harus bertindak, bukan?”
“Ya. Residen Soedirman saat ini sedang berunding dengan orang-orang Belanda di dalam sana.”
“Berunding? Bukankah jelas-jelas mereka ingin kembali berkuasa?”
“Aku juga geram dibuatnya, Nak. Tetapi kita bangsa yang bermartabat. Diplomasi juga adalah salah satu senjata dalam perang, bukan? Kita tetap punya pilihan senjata-senjata lain yang akan digunakan bila saatnya tiba.”
Aku terdiam membenarkan perkataan bapak ini.
“Perbincangan ini membuat aku kembali bersemangat. Sayangnya beberapa tahun lalu, terjangan peluru membuat salah satu kakiku harus diamputasi. Ayo, Nak. Bantu aku berjalan ke sana.”
Obrolan kami terhenti ketika samar-samar terdengar suara letusan senjata. Lalu terdengar hiruk pikuk dari arah hotel.
“Sudah dimulai…,” kata bapak itu. Matanya berkilat-kilat.
“Ayo, Nak.”