Seperti pagi ini.
Ametys masih mengenakan jubah tidur berwarna biru gelap. Rambut merahnya dibiarkan berserakan di sepanjang kening dan bahunya. Dia melangkah perlahan, menunggu matahari yang masih malu-malu. Tidak seperti biasa, kali ini dia menatap aneh ke arah timur.
Memang saat itu separuh langit sedang berawan dan separuh mendung. Tetapi berkas-berkas sinar raja hari seharusnya bisa mengenyahkan gundah di hati siapapun yang memandangnya.
“Yang Mulia, Ratu sudah menunggu di meja makan.”
Seorang pelayan wanita menyapa Ametys beberapa langkah di belakangnya. Ametys berpaling sebentar, lalu kembali menatap ke arah timur.
“Mengapa mereka sudah menyiapkan sarapan sepagi ini? Apakah ini hanya perasaanku saja, atau memang waktu yang selalu tiba lebih cepat. Pergilah, Darhim. Katakan pada Ratu aku akan segera turun.”
“Baik, Yang Mulia.”
Ametys memandang lekat-lekat awan mendung yang menggelayut di sekitar istana.
“Ini seperti sebuah pertanda,” batinnya.
Ametys juga memandang beberapa lembar daun manggis yang berjatuhan seperti embun. Begitu jatuh terkena tanah, daun-daun itu langsung mengering begitu saja.
Dia lalu menjulurkan telapan tangan kanannya ke depan sembari memejamkan mata. Dia mencoba berbahasa kalbu dengan angin pagi, untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan alam kepadanya.