Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sedang Marah? Tulislah Sebuah Puisi

19 Februari 2016   08:42 Diperbarui: 19 Februari 2016   09:03 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam buku Be A Briliant Writer, Afifah Afra menekankan bahawa menulis prosa adalah dominasi otak. Sementara untuk menulis puisi, hatilah yang dominan berbicara. Berdasarkan pengalaman menulis puisi di atas saya pun mengamini penulis novel Bulan Mati di Javasche Oranje ini.

Sebagaimana karakter karya sastra lainnya, tentu masih ada komposisi puisi yang lain selain emosi. Misalnya kepadatan kata, metafora, rima, diksi, ide atau pokok pikiran dan imajinasi. Tapi emosi akan merangkai semua komposisi tersebut untuk menghasilkan sebuah puisi yang benar-benar kuat dan membekas dalam hati pembacanya.

Jadi ibarat meracik secangkir kopi, komposisi lain itu ibarat gula pasir dan bubuk kopi, sedangkan emosi adalah air panas yang akan melarutkan semua untuk menghasilkan secangkir kopi mengepul yang nikmat rasanya. Jika gula pasirnya ternyata kurang, atau bubuk kopinya berlebih, rasa kopinya mungkin lebih pahit, begitu pula sebaliknya. Tapi minuman itu tetap akan disebut kopi, bukan?

Berbeda dengan kopi plus gula dengan sedikit air panas, bahkan tanpa tanpa air panas sama sekali. Kita tidak bisa menikmati kopi tersebut sebagaimana mestinya.

Begitu pula dengan puisi yang kita tulis. Bait yang tidak beraturan, metafora yang minim, bahkan tanpa rima sekalipun, puisi tetap bisa dinikmati jika diisi dengan emosi yang kuat.

Nah, dengan demikian momentum paling bagus untuk menulis puisi adalah pada saat emosi kita sedang memuncak karena pada saat itulah hati lebih mendominasi dibanding rasio atau logika atas diri kita. Saat itu, ambillah kertas, pena, gawai atau media apapun yang bisa digunakan untuk menulis. Tulis atau ketik apa saja yang sedang kita rasakan. Entah itu kegembiraan, perasaan rindu, jatuh cinta, kekecewaan atau bahkan amarah. Saat itu kata-kata akan mengalir seiring perasaan yang kita luapkan dari dalam hati. Tak usah berpikir panjang dengan nasib puisi kita di mata pembaca nanti. Lupakan sejenak karakteristik puisi yang lain. Kita akan mengedit dan menyempurnakannya pada waktunya nanti.

Setelah emosi stabil kembali, berarti sampai waktunya kita untuk mengedit tulisan hasil luapan perasaan kita. Saat ini mestinya rasio dan pikiran kita telah berfungsi dengan baik kembali, sehingga puisi kita bisa dipermak dengan baik pula.

Tak perlu bekerja banyak jika puisi itu untuk diri sendiri saja. Namun jika akan dikonsumsi khalayak, berarti kita harus bekerja lebih. Mulai dari memeriksa ejaan, tanda baca, sampai membuang bagian-bagian puisi yang tidak perlu dan menambal kekurangan disana-sini. Saat ini kita juga sudah bisa menambah style puisi seperti membangun rima dan memperbaiki diksi yang digunakan.

Bukan berarti saat emosi kita sedang stabil kita tidak bisa memproduksi puisi. Bisa saja. Namun, seperti sebuah lagu, puisi akan lebih punya “jiwa” saat kita menuliskannya dari hati bukan dari pikiran semata-mata.

_______

Hanya pada saat itulah mereka lepas dari perangkap kemunafikan untuk mengecup damai hakiki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun