16 bulan yang lalu.
Hujan deras tengah melanda metropolitan. Siang itu empat sekawan, Nirina, Helen, Ruby dan Maya sedang berada di dalam salah satu resto elit untuk menikmati makan siang mereka. Mereka adalah sosok wanita eksekutif yang bisa dikatakan meraih sukses di usia relatif muda.
Keempatnya penuh optimisme dalam setiap derai tawa dan keriaan mereka, menyaingi riuh gemercik hujan di luar sana.
“Eh, ngomong-ngomong bagaimana kamu dan Roby?” tanya Nirina spontan ke depan wajah Helen.
Yang ditanya tersipu-sipu malu.
“Entahlah, cowok itu berbeda. Kerap mati gaya aku dibuatnya…,” sahut Helen.
“Nah, itu memang tanda-tanda orang lagi falling in love, kan? Mati gaya…,” sambung Ruby.
Mereka kembali larut dalam tawa. Tiga dari empat orang itu tidak tahu, salah satu dari mereka tengah menyimpan cemburu membara…. juga dilema. Di satu sisi, dia harus mendukung kawan karibnya meraih cintanya, di sisi lain dia juga menyimpan perasaan yang sama pada lelaki itu.
Malaikat dan iblis tengah bertarung dalam pikiran Maya, di bawah atap restoran yang tengah didera derasnya hujan. Akhirnya di penghujung pertemuan mereka siang itu, iblislah pemenangnya. Saat ketiga kawannya meninggalkan meja untuk merapikan riasan di toilet restoran, Maya mengeluarkan botol kecil berisi serbuk obat dan menuangkannya ke dalam teh melati milik Helen.
Sekembalinya dari toilet, Helen masih sempat menyesap minuman itu sebelum keempatnya berpamitan satu sama lain untuk kembali melanjutkan aktivitas mereka.
*****