Kakek Yamen terdiam lagi. Ujung matahari sudah hampir menyentuh bibir laut, pertanda tak lama lagi senja akan berganti malam gulita.
“Tapi ada baiknya juga… supaya kelak dia tidak begitu terkejut ketika harus benar-benar bertemu denganmu, El.”
“Oh, tentu. Semua itu ada waktunya, apakah lima tahun lagi, atau lima puluh tahun lagi, semua tergantung titah Sang Pemilik Waktu…,”
“Benar…. Semua tergantung Sang Pemilik Waktu..”
“Bagaimana kalau kita sudahi nostalgia kita, kakek tua. Aku masih harus mengejar matahari, menghampiri dermaga demi dermaga, menjemput mereka yang telah kehabisan waktu…”
“Aku sudah siap, El. Kapanpun….,”
Keduanya pun berjalan perlahan menyusuri badan dermaga, lalu El memimbing kakek Yamen menapaki tangga kapalnya. Tak lama kemudian, kapal tersebut bergerak meninggalkan dermaga menuju ke arah bola cahaya keemasan di ufuk barat.
*****
Seorang gadis mungil dengan rambut dikuncir dua berlari-lari kecil dari arah desa nelayan ke arah dermaga.
“Kakeeek…. Kakeeek…!!” serunya, berharap sang Kakek segera menyongsongnya seperti biasa, lalu memarahinya karena berjalan sendiri ke arah laut, seperti biasa, lalu membawanya pulang bersama ikan-ikan hasil pancingannya,… seperti biasa.
Tapi kali ini ada yang tidak biasa. Dia melihat kakeknya tengah terbujur kaku di atas dermaga, tanpa ikan tangkapan seekor pun.