[caption id="attachment_313232" align="aligncenter" width="371" caption="Pa'piong setelah dimasak. Sebentar lagi siap untuk disajikan"]
Menjelang siang, tamu-tamu mulai berdatangan. Para bapak dan ibu seksi sibuk juga mulai bergabung dengan para undangan untuk mengawali ibadat syukuran. Tepat jam 11.30 ibadat syukuran pun dimulai. Yang menarik, seluruh tata ibadat termasuk lagu-lagu pengiringinya rupanya sudah ada dalam versi bahasa daerahnya. jadi kami pun beribadat dengan konsep kearifan lokal.
Ibadat berlangsung selama kurang lebih satu jam. Setelah itu ada pesan-pesan sponsor dari tuan rumah dan Ketua umat di desa. Sebelum makan siang, ada tradisi warga untuk mengadakan lelang daging. Tidak semua potongan daging tadi diolah, tapi ada beberapa yang disisihkan untuk kegiatan lelang ini, seperit potongan kepala dan keratan daging paha. Warga yang menginginkan potongan tersebut dipersilahkan mengikuti lelang. Uang penjualan lelang biasa digunakan untuk tujuan sosial seperti menambah dana pembangunan gereja stasi atau menambah kas kegiatan kemasyarakatan setempat seperti dasawisma, karang taruna, dan lain-lain. Jadi lelang pun dilakukan beberapa tahap sesuai dengan banyaknya peruntukan uang lelangnya. Acara lelang berlangsung seru, karena juru lelang kawakan yang didaulat memandu acara pandai melucu dan menggiring warga menaikan harga lelangnya.
[caption id="attachment_313233" align="aligncenter" width="361" caption="Pemimpin ibadat sedang memberikan renungan."]
Akhirnya setelah acara lelang selesai, acara yang ditunggu-tunggu alias makan siang pun tiba juga. Kaum wanita bergerak menyiapkan makanan termasuk pa’piong yang sejak tadi sudah berpindah media ke piring-piring keramik. Ada kebiasaan menarik dari warga disini. Saat makan, yang digunakan adalah kertas makan sebagai pengganti piring makan. Jadi piring kaca atau batu hanya digunakan untuk menyajikan menu. Unik bukan? Praktis dan dijamin tidak ada piring makan yang pecah akibat kelalaian tamu.
Acara-acara seperti ini juga seringkali digunakan untuk ajang kumpul-kumpul keluarga yang mungkin jarang bertemu entah karena kesibukan masing-masing atau karena yang berjauhan. Jadi setelah makan siang selesai, para tamu pun biasa masih tinggal untuk bercengkrama satu dengan uang lainnya.
Secara administratif, Lembang Gasing terletak di Kecamatan Mengkendek, sekitar 13 Km dari Kota Makale. Untuk mencapainya pun butuh perjuangan tersendiri. Sebelum masuk ke Kecamatan Sangalla, bus yang membawa pengunjung dari Kota Makassar berhenti di SPBU Minanga. Dari situ, pengunjung dapat menyewa ojek bertarif Rp 40.000 - Rp 50.000 sampai ke Lokasi. Perjalanan mendaki dan berliuk-liuk. Ditambah lagi jalan yang dilalui baru berupa jalan rintisan berbatu-batu, sehingga penumpang ojek mesti terguncang-guncang di atas motor. Tapi perjuangan itu terbayar. Begitu sampai, kita akan disuguhi pemandangan alam yang indah dan ketulusan hati warganya. (PG)
Gambar: Dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H