Mohon tunggu...
Phoenixius Kenneth Ryuta
Phoenixius Kenneth Ryuta Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Student

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kecanduan Dunia Maya, Harga yang Harus Dibayar Kesehatan Mental!

9 November 2024   02:10 Diperbarui: 9 November 2024   02:28 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media (pngtree.com)

Hidup di era digital dapat kita ibaratkan seperti hidup di tengah pesta tanpa akhir. Gempita koneksi tanpa batas, informasi berlimpah, dan kemudahan komunikasi menjadi daya tarik utama yang tak bisa dielakkan. Media sosial, internet, dan teknologi membuat kita merasa lebih terhubung dari sebelumnya. Namun, di balik kemudahan ini, ada harga mahal yang harus dibayar, terutama oleh kesehatan mental kita.

 Kehidupan digital yang serba cepat dan instan ini membawa dampak yang tak kasatmata pada emosi dan kesejahteraan jiwa, yang perlahan tapi pasti semakin sulit diabaikan. Masalah-masalah ini harus segera diatas agar meminimalisir kerusakan pada mental kita. 

Fenomena FOMO dan Tekanan Sosial yang Terus Meningkat 

Masyarakat modern kini tak hanya berkejaran dengan waktu, tetapi juga menghadapi ancaman dari fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau takut kehilangan terhadap sesuatu, entah itu informasi ataupun trend baru. Setiap hari, kita dibanjiri unggahan media sosial yang menampilkan keberhasilan, kebahagiaan, dan kehidupan serba sempurna orang lain.

 Tanpa disadari, banyak dari kita yang kemudian merasa cemas, sehingga kita mulai mempertanyakan makna hidup kita sendiri dan kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain yang lebih sukses maupun yang kurang sukses. Ketika melihat pencapaian dan momen bahagia orang lain, perasaan iri dan cemas kerap menyelinap. Hidup kita tiba-tiba terasa kurang berarti, sementara media sosial terus memaksa kita untuk bersaing dan mencari pengakuan.

Tekanan mental untuk terus eksis di media sosial bukan hanya soal kecemasan, tetapi juga soal harga diri seseorang. Media sosial telah menjadi panggung besar di mana kita merasa harus tampil sempurna setiap saat. Dalam pencitraan yang tak putus, kita dipaksa untuk menunjukkan sisi terbaik, bahkan ketika kenyataan jauh dari kesempurnaan. Ini dapat dilihat dari postingan ratusan influencer sosial media yang hanya memposting hal-hal baik tentang diri mereka, tetapi sebenarnya terkena kasus seperti penggunaan narkoba dan lain semacamnya. 

Sayangnya, ini membawa kita pada masalah yang lebih serius, yaitu depresi dan ketidakpuasan terhadap hidup sendiri. Setiap unggahan penuh kesempurnaan hanya menambah daftar panjang standar ideal yang tak mungkin tercapai. Paparan berlebihan terhadap kehidupan yang idealistis di media sosial bisa menimbulkan perasaan rendah diri, terutama bagi kaum muda yang tengah mencari jati diri.

Doomscrolling (clearspace.com)
Doomscrolling (clearspace.com)

Kehilangan Fokus dan Produktivitas dalam Kehidupan Nyata

Tak hanya memengaruhi emosi, dunia digital juga telah menjadi musuh terbesar bagi produktivitas kita. Berbagai notifikasi dan konten menarik membuat kita terjebak dalam lingkaran kecanduan, sehingga akhirnya melemahkan fokus dan konsentrasi kita dalam melakukan aktivitas lain. 

Ketika segala sesuatu bisa diakses dalam hitungan detik, kemampuan untuk bertahan pada tugas jangka panjang semakin terancam. Kecanduan ini berujung pada hilangnya produktivitas dan rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Dunia maya yang menawarkan pelarian sesaat hanya menciptakan ketidakmampuan kita untuk menyelesaikan tugas-tugas penting dalam kehidupan nyata.

Contoh nyata dari dampak kehidupan digital yang mengganggu produktivitas dan keseimbangan mental bisa dilihat pada fenomena "doomscrolling" yang belakangan marak. Fenomena ini adalah ketika banyak orang tanpa sadar menghabiskan berjam-jam menggulir berita dan konten negatif di media sosial, terutama di tengah situasi dunia yang penuh ketidakpastian. 

Kebiasaan buruk ini tak hanya menyita dan memakan waktu orang banyak, tapi juga menurunkan fokus dan menyebabkan stres berlebihan kepada orang yang melakukannya . Bahkan, fenomena ini sering kali membuat seseorang sulit kembali ke tugas penting setelah tenggelam dalam lautan informasi yang tak henti-hentinya muncul.

Ironi HOAX di sosmed (colomnist)
Ironi HOAX di sosmed (colomnist)

 Ironi dan Dampak Koneksi Digital: Semakin Terhubung, Semakin Kesepian 

Ironisnya, meski teknologi dirancang untuk mendekatkan, banyak orang justru merasa semakin terisolasi. Ratusan koneksi digital tidak bisa menggantikan interaksi nyata yang penuh kehangatan. 

Dalam sebuah survei, ditemukan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin tinggi tingkat kesepiannya. Interaksi virtual tak mampu menghadirkan rasa kedekatan yang nyata, dan akhirnya rasa hampa dan kesepian sering kali menjadi bayaran dari kehidupan digital.

 Terutama bagi generasi muda, kehilangan hubungan sosial yang autentik berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Mereka terjebak di antara ribuan teman maya, tetapi merasa tak punya satu pun tempat untuk berbagi.

Dampak negatif kehidupan digital juga terasa pada kesehatan fisik kita. Cahaya biru dari layar yang terus menyala hingga larut malam dapat mengganggu pola tidur, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental. Kurangnya tidur berkualitas akan memperburuk kondisi emosional, membuat kita rentan terhadap depresi dan kecemasan.

 Penggunaan teknologi secara berlebihan juga mengurangi waktu untuk berolahraga dan beraktivitas fisik, yang sebenarnya sangat penting untuk keseimbangan mental. Saat tubuh dan pikiran kita sama-sama lelah, kesehatan mental pun semakin sulit dipertahankan.

Langkah Bijak Menghadapi Kehidupan Digital

Untuk menghadapi tantangan ini, kita perlu melakukan tindakan konkret agar tetap sehat di dunia maya. Mengatur waktu penggunaan media sosial, mematikan notifikasi yang tidak penting, serta membatasi penggunaan perangkat digital sebelum tidur adalah beberapa langkah yang bisa diambil. 

Kita juga perlu menyadari pentingnya menjalin hubungan sosial di dunia nyata dengan keluarga dan teman-teman, tanpa gangguan teknologi. Dengan berolahraga secara teratur dan menetapkan batasan dalam penggunaan teknologi, kita dapat menikmati manfaatnya tanpa mengorbankan kesehatan mental.

Kehidupan digital mungkin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kita, namun kita tidak boleh menjadi budaknya. Di balik kecanggihan teknologi, masih ada nilai kehidupan nyata yang perlu kita jaga. 

Dengan menyeimbangkan dunia maya dan nyata, kita bisa memastikan kesehatan mental kita tetap terjaga di tengah gemerlap dunia digital yang penuh godaan. Kita harus bisa bijak dalam memilah mana yang harus kita lakukan dan mana yang tidak perlu dilakukan. Dengan begitu, kita juga bisa menjaga kesehatan mental kita masing-masing

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun