Psikoanalisa: Antara Freud dan Lacan
Gagasan elementer psikoanalisa yang pertama adalah liberasi Diri: merdeka dari psikoneurosis , dari simpton psikis, dari identitas sosial budaya dan ideologi serta kungkungan lainnya. Sigmund Freud membedah beban psikis masa lalu pasien dengan cara mengeksplorasi alam ketaksadarannya sehingga terbebaskan dari trauma. Jacques Lacan memperluas pembahasannya ke liberasi Diri dari ideologi dan budaya. Merdeka dari citra orang lain atau lingkungan sama dengan kelahiran Diri yang baru (the genesis of "I").
Gagasan kedua adalah ketaksadaran. Psikoanalisa menyebutkan ranah ketaksadaran ini dominan pada diri. Bagi Freud, Diri secara tegas dipertontonkan oleh skema Id, Ego , dan Superego . Ego (kesadaran) adalah "prinsip realitas" (reality principle): kita menyadari sesuatu. Sementara Id (ketaksadaran) merupakan "prinsip kesenangan" (pleasure principle) sebagai dorongan instingtif individu yang membutuhkan pemuasan.
Pemuasan ini bertentangan dengan prinsip realitas tadi sebagai norma sosial (tidak boleh telanjang di muka umum, dll) Walaupun ranah ketaksadaran dinormalisasi oleh kode-kode sosial tapi akan selalu menyeruak dalam kesadaran diri (keseleo lidah, latah, mengigau, dll). Atas dasar itu, liberasi Diri adalah mengintegrasikan dorongan Id ke dalam harmonisasi Ego.
Bagi Freud, jika prinsip kesenangan melalui obyek pemuasannya tidak terpenuhi maka manusia menarik diri dari prinsip realitas dengan cara berkhayal atau halusinasi.
Jacques Lacan memperluas gagasan Freud tentang Id, Ego, Superego menjadi perkembangan psikis Diri dalam 3 fase, yaitu: the Imaginary, the Symbolic dan the Real. Sederhananya, Diri mengidentifikasi diri melalui figur ibu dan orang lain pada fase imajiner. Pada fase simbolis, Diri memisahkan dirinya dengan yang lain melalui bahasa (melalui penyebutan nama, dll). Adapun fase Yang Nyata mengarah pada pemahaman baru tentang Diri dalam konteks “the genesis of I” tadi.
Jika Freud berusaha memerdekakan Diri dari kungkungan depresi mental maka Lacan tetap mempertahankan dimensi kekurangan dalam Diri tersebut. Alih-alih menganggapnya sebagai generator pemahaman diri yang utuh.
Ketika Diri menyadari kekurangannya sebagai the lackness subject, eksistensi diri berkelindan sedemikian rupa menambal kekurangan itu. Diri menjadi Diri karena keretakannya, karena kekurangannya.
Dengan demikian, pada Lacan dimensi kesadaran dan ketaksadaran berkelindan membentuk identitas Diri.
Ranah ketaksadaran bukan hal yang terpisah dalam fase. Pada fase imajiner, ketaksadaran menyeruak dalam Oedipus Complex (mengiblatkan Diri pada orang lain). Pada fase simbolis, ketaksadaran bersembunyi dalam bahasa. Bahasa menghubungkan Diri dengan ketaksadaran. Malah bahasa menjadi prakondisi tindak menjadi sadar.
Melalui bahasa, ketaksadaran membeberkan sesuatu yang berbeda dengan penampakannya (jalan lurus yang semakin mengecil, sendok bengkok dalam gelas berisi air, dll). Sementara pada fase yang Nyata, ketaksadaran menyeruak sebagai entitas penjamin eksistensi diri supaya terus mengenal dirinya. Misalnya berdoa dengan harapan dikabulkan.
Gagasan ketiga adalah bahasa. Lacan sebenarnya menekankan urgensi bahasa sebagai media penghubung antara Diri dan ketaksadaran terutama pada fase simbolis. Lacan membedakan antara “the Symbolic-Je” dengan “the Imaginary-Moi” (dalam bahasa Prancis, “je” yang berarti " saya" merujuk pada subyek, dalam bahasa Inggris = I, sementara “moi” adalah diri obyek atau “me”).
“The Symbolic-Je” adalah ketaksadaran, sedangkan “the Imaginary-Moi” adalah kesadaran.
The Symbolic-Je merupakan fase Diri mengenal dirinya melalui serangkaian simbol bahasa seperti nama panggilan, nama benda, dan lain sebagainya. Pada satu sisi, bahasa merupakan wujud identitas Diri individu, di sisi lain ia menjadi ekspresi yang sosial.
Diri mengenal dan memperkenalkan dirinya melalui bahasa. Diri pun mengenal yang lain dan berkomunikasi melaluinya.
Tapi bahasa menyembunyikan Diri juga. Diri an sich bersembunyi di balik label nama. Diri tidak mampu mengenal dirinya tanpa bahasa. Alih-alih bagi Lacan bahasa mempertegas kekurangan Diri.
Jika pada fase imajiner, Diri memahami dirinya melalui orang lain. Pada fase simbolis, Diri membutuhkan bahasa untuk memahami dirinya.
Dalam the Symbolic-Je, bahasa menghubungkan Diri dengan ketaksadaran, bahkan mempraktikkan ketaksadaran itu. Dorongan kebutuhan organis dalam Diri dinikmatinya melalui representasi bahasa atau tanda, tidak langsung dan parsial.
Posisi Diri dikonstitusi oleh bahasa di mana Diri menemukan dirinya sebagai entitas simbolis (Diri BW dan seseorang yang bernama BW).
Menurut Lacan, bahasa meretakkan dimensi psikis Diri menjadi Aku Individual dan Aku Gramatikal . Aku individual adalah penutur (subject of enunciation) sedangkan Aku gramatikal adalah aku dalam tuturan (subject of enunciated). Jadi dalam bahasa, Diri terbelah dua: antara Diri yang berbicara dan Diri yang dibicarakan.
Aku gramatikal merupakan pengganti kehadiran Aku individual. Pemahaman dan penerimaan terhadap keretakan psikis ini yang mengukuhkan identitas Diri. Pada satu sisi, Diri menegasi dirinya melalui kode gramatikal, di sisi lain Diri berusaha menyatukan kembali kepingan dirinya melalui kode gramatikal yang telah mengganti kehadiran Diri individualnya.
Gagasan lain yang penting dalam psikoanalisa adalah seksualitas. Freud mengatakan seksualitas merupakan insting alamiah manusia. Pergulatan antara melampiaskan insting purba itu dengan ancaman yang membatasinya. Pergulatan ini yang menyisakan trauma psikis karena elemen-elemen terlarang dalam Diri tidak bebas dilakukan.
Pada Oedipus Complex, Diri mengalami pembatasan-pembatasan psikoseksualitas yang mengancam Diri termasuk figur Sang Ayah, sesuatu yang mengancam dan merebut kesenangan Sang Ibu.
Tapi pada Lacan, elemen terlarang merupakan bagian tak terpisahkan dari Diri. Jika hal tersebut menjadi kekurangan Diri maka kondisi itu lah yang menjadikan Diri hidup dan dinamis. Ketaksadaran bukan gangguan bagi kesadaran.
Keduanya berkelindan membentuk identitas Diri. Bahkan Sang Ayah, bagi Lacan, bisa dimaknai secara simbolik sebagai hukum, ideologi kekuasaan atau norma sosial.
Seksualitas sebagai insting purba ditranformasi menjadi hasrat (desire) oleh Lacan. Seksualitas bukan hanya hasrat seksual tapi mencakup semua hal yang diinginkan Diri, yaitu "obyek penyebab hasrat" (object-cause desire, objet-petit a). Konsep ini bermula dari motivasi ganjiĺ dalam diri, yang disebut Lacan dengan "kenikmatan" (enjoyment, jouissance). Kenikmatan merupakan dorongan kompulsif untuk merasakan, meraih kepuasan atau menikmati.
Pemahamannya seperti ini. Kenikmatan merupakan rasa berlebih yang sulit ditahan atau dibatasi. Ia bersifat melampaui kategori-kategori Diri sehingga kenikmatan tidak terukur, tidak rasional dan terkadang tidak berguna. Kenikmatan ini melahirkan tindakan-tindakan yang aneh, irasional dan kontraproduktif. Contoh Oedipus Complex dengan mudah menjelaskannya.
Dalam Oedipus Complex, kenikmatan bermula dari hubungan ibu dan anak. Sang anak tidak bisa memisahkan diri dari ibunya. Semua hal yang ada pada ibunya menjadi miliknya. Tapi kemudian anak melihat perbedaan fisik dengan ibunya sehingga hubungan dengan ibunya pun hilang. Lalu sang anak berusaha menemukan kembali hal-hal yang hilang tersebut.
Salah satunya adalah tindakan menyenangkan ibunya; menjadi figur yang diinginkan ibunya. Sang anak pun berusaha memenuhi hasrat ibunya. Inilah kenikmatan sang anak. Ia tidak hanya berusaha menjadi "apa yang ibunya ingini" tapi juga "menginginkan apa yang ibunya ingini".
Hasrat itu tidak terpenuhi secara maksimal dan terpendam. Fantasi lah yang mampu mengimbangi hasrat itu. Fantasi anak terhadap sesuatu yang diinginkannya atau menceritakan keinginan/hasrat ibunya.
Fantasi juga memberi cara bagi anak untuk menjadi hasrat ibunya serta alasan ketidakmampuan mencapainya. Dari contoh Oedipus ini sebenarnya ibu lah yang menjadi object-cause desire.
Perluasan hasrat dan fantasi Diri berlanjut dalam fase simbolis. Diri menyadari bahasa mendahului dirinya. Semua rasa, hasrat, fantasi, keinginan dilakukan melalui simbol bahasa. Anak menyadari bahasa merupakan media kanalisasi hasratnya. Padahal kenikmatan bersifat langsung tanpa perantara bahasa. Maka konsfigurasi hasrat pun tidak pernah lengkap melalui bahasa.
Kepenuhan identitas Diri melalui the Symbolic-Je dan the Imaginary-Moi tidak pernah lengkap. Selalu ada residu. Residu ini mendorong Diri untuk memahami proyeksi hasrat serta mendorongnya.
Ketika pemenuhan itu gagal, ia menjadi skema kenikmatan tersendiri. Sublimasi kenikmatan bergeser dari "apa yang ingin dicapai" menjadi "bagaimana proses mencapainya". Proses pencapaian yang memberikan kepuasan.
Atas dasar itu, Lacan memberi tafsir baru atas psikoanalisa di mana konsfigurasi hasrat bisa diperluas di ranah kekuasaan politik, realitas sosial, dan perilaku ekonomi [ ].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H