Hegel menggeser paradoks kesadaran diri manusia dari masalah epistemologi (yang dikemukakan Kant) ke ontologi, yaitu baik fenomena ataupun nomena tidak dapat dipahami manusia dengan utuh sehingga setiap pengetahuan tentangnya juga tidak utuh. Jika kekurangan/retakan merupakan sifat realitas, baik manusia maupun obyek adalah ketidaksempurnaan.
Dari sisi manusia, kekurangannya menjadi daya dorong untuk proses dialektika. Manusia dipaksa mengasumsikan ketidakcukupan (insufficiency) pengetahuannya dalam mendeskripsikan realitas seturut ketidaklengkapan realitas itu sendiri.
Eksistensi manusia hanya pada horison fenomena.
Yang nomena tetap dibiarkan sebagai das ding an sich. Kritik Hegel atas apersepsi transendental Kant adalah pengetahuan manusia terhadap nomena tidak bermakna selama menggunakan insight kognitif yang mendeterminasi pikiran manusia. Hegel ingin relasi antara manusia dengan benda bukan relasi penampakan tapi antagonisme.
Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk membuka selubung realitas tapi memahami bagaimana realitas itu menampakkan kemunculannya.
Menurut Hegel, realitas selalu dalam keadaan terbingkai. Terkadang ia tampil sebagaimana adanya tapi di lain waktu hanya ilusi. Bingkai menyebabkan pemisahan realitas sebagai “dunia yang diketahui” dengan “dunia itu sendiri”.
Dengan demikian ada dua situasi yang bertentangan dari setiap realitas dan manusia tidak diberi kemampuan untuk memahami keduanya secara bersamaan.
Jika manusia menggunakan satu perspektif maka perspektif yang lain akan mengelak dan mengisi kekosongan perspektif yang lain itu (pemahaman ini berbeda dengan Kant yang mengatakan jika manusia tidak bisa menggunakan rasio murninya, ia akan bergeser ke rasio praktis atau daya pertimbangan). Proses persektif dalam kesadaran diri inilah yang disebutkan Hegel dengan dialektika.
Manusia selalu berhadapan dengan kegagalan dalam memformulasi realitas.
Tapi kegagalan ini yang menyebabkan proses dialektika terjadi. Dalam kegagalan ada pergeseran antara sesuatu (something) dan bukan sesuatu (nothing), antara satu dan kekosongan di dalamnya. Jika kekosongan telah memenuhi ruang satu maka yang satu berbalik menjadi oposisinya, begitu seterusnya.
Jika something telah menjangkau kepenuhannya, yang nothing beralih menjadi antagonisme-nya. Dalam dialektika selalu ada residu yang menentang sublasi internalisasi dialektika itu. Proses ini tidak dapat memperhitungkan ekses yang pasti