Pada pemikiran Abad Pertengahan, ada upaya mengembalikan paradoks manusia dengan kekuatan semesta ini tapi tidak direpresentasikan oleh dewa melainkan oleh Tuhan.
Ide ini sebenarnya bersumber dari pemikiran dualisme Plato yang dimistifikasi oleh Neo-Platonisme.
Walaupun Plato tidak menyebutkan Tuhan sebagai sommun bonum tapi pemikir selanjutnya menafsirkan pemikirannya ke arah teisme. Baru pada Aristoteles, alam idea dikonkritkan ke dalam pikiran manusia (abstraksi) yang menghasilkan konsep unmoveable mover (penggerak yang tidak bergerak).
Aristoteles juga menghindari dualisme Plato. Baginya ada “realitas antara” (reality in between) dari alam fisik ke alam metafisik, yaitu alam matematis. Tapi semuanya akumulasi pikiran manusia. Kemampuan abstraksi dapat memilah yang fisik, metafisik, dan mathesis sehingga manusia mampu memikirkan Tuhan.
Inilah alasan mengapa masyarakat muslim menerima pemikiran Plato dan Aristoteles serta mendamaikan proyeksi pikiran dengan wahyu Ilahi. Sampai-sampai menisbatkan gelar kepada Aristoteles sebagai “Guru Pertama” (al-muallim al-awwal).
Al-Muallim al-Tsani adalah Ibnu Sina tapi pewaris pemikiran Aristoteles yang sebenarnya adalah seorang Qadi agung yang menulis kitab fiqih Al-Bidayat al-Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd. Adapun pemikiran Abad Pertengahan cenderung mensubordinat pikiran di bawah wahyu.
Paradoks manusia bersumber dari state of nature-nya sendiri. Sebuah keinginan luhur untuk memahami diri berangkat dari ambiguitas kelebihan dan kekurangannya. Paradoks ini adalah sebuah pergulatan dengan diri, dengan identitasnya.
Immanuel Kant, filsuf dari kota kecil Konisberg pada Abad 14 (Abad Pencerahan atau Aufklaurung) ingin menggugah kesadaran manusia untuk menguasai alam. Untuk menguasai alam, metode berpikir manusia harus kembali mendulang Plato dan Aristoteles. Plato diwakili oleh rasionalisme Rene Descartes dan Aristoteles direpresentasi oleh empirisme David Hume.
Salah satu kelebihan Kant adalah mampu mensintesiskan dua kubu ekstrem ini: pandangan matematis Descartes tentang manusia dan pemikiran Hume yang empiris aposteriori.
“Sapere Aude… !!!” (berani lah berpikir sendiri), kata Kant.
Pergulatannya bukan dengan diri tapi mencari ikhtiar menguasai semesta (kita diingatkan dengan teori Immanuel Kant dan Laplace tentang terbentuknya tata surya dengan teori kabut atau nebula!). Kesadaran murni manusia tentang yang gaib, yang noumena dapat dilihat dari pengalaman sehari-hari.