Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menggugat Keabsahan AI Berteologi

1 Oktober 2023   14:15 Diperbarui: 2 Oktober 2023   12:20 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skema buatan penulis

Ada yang menarik dari pidato pengukuhan guru besar Binsar Pakpahan di STFT Jakarta pada hari Rabu silam (27/9).(1) Tema yang dipilih oleh guru besar teologi termuda dalam sejarah Indonesia itu adalah Artificial Intelligence (AI). Tidak disangka-sangka.

Dalam pembukaannya, Prof. Binsar menyentil apatisme kita terhadap kehadiran AI. Disadari atau tidak, suka atau tidak suka, kita telah hidup dengan algoritma-algoritma AI. Contoh terapan AI terbaru yang dekat dengan dunia teologi adalah pelayanan khotbah oleh AI di Gereja St. Paul, Bavaria (9/6).(2) Putra dari aktivis buruh terkemuka era Orde Baru tersebut kemudian memantik pertanyaan mendalam tentang keabsahan AI dalam berteologi dan usaha manusia dalam berteologi.

Antara Theologia dan Theologike

Prof. Binsar pertama-tama mengajak kita berkonsultasi dengan Kardinal Joseph Ratzinger, yang menawarkan dua prinsip teologi, yaitu Theologia dan Theologike. Yang pertama merupakan percakapan tentang yang ilahi, yang menekankan rasio/akal (skolastik) dan menerapkan metode hermeneutika. Yang kedua, Theologike adalah usaha untuk mengalami yang ilahi, yang menekankan afeksi dan pengalaman manusia (monastik) dan menerapkan metode transendental.

Sang guru besar mengusulkan dialog antara metode transendental dan hermeneutika. Jalan Theologia dan Theologike harus bermuara menjadi satu. Untuk berteologi, seorang harus mulai dari perjumpaan dengan Allah, dilanjutkan dengan usaha memahami Dia dengan rasio.

Tesis Prof. Binsar menggaungkan pemikiran Anselmus, Uskup Agung Canterbury abad ke-11. Motonya yang terkenal, "Faith seeking understanding" (fides quaerens intellectum), memosisikan iman atau perjumpaan dengan Allah sebagai titik keberangkatan.(3)

Mampukah AI Berteologi?

Selanjutnya, guru besar kelahiran Medan, 42 tahun silam itu, membawa kita kepada pertanyaan kedua nan penting: Mampukah AI berteologi?

Meski tampak canggih, AI, dalam pandangan Prof. Binsar, sekadar mensimulasi kemampuan manusia dalam intelligence, thinking, dan consciousness. Yang harus diantisipasi adalah Artificial Super Intelligence (ASI), yang memiliki kemampuan deep learning. Begitupun, mesin-mesin AI tidak dapat dikatakan berteologi, sebab berteologi bukan sekadar mengolah data seperti algoritma.

Teologi harus dimulai dengan hati (kardia), tempat kedudukan perasaan, hasrat, keinginan, dan kehendak. Berteologi dari hati berarti bertemu dengan sang Logos, merasakan kekuatan sakramen, berkomunikasi dengan komunitas, dan percaya kepada Allah. Sampai kapan pun AI tidak dapat tiba pada titik tersebut.

Sepintas, Prof. Binsar menjadi dekat dengan aliran Romantisisme, yang menekankan aspek emosional, estetika, dan pengalaman pribadi dalam hubungannya dengan agama. Seperti Schleiermacher, ia menekankan perasaan religius (Gefuehl) yang nyata melalui iman. Setiap individu harus memiliki hubungan pribadi dengan yang ilahi ketika berteologi. Tidak seperti Kierkegaard, AI tidak dapat memiliki iman yang nyata atau mempertanyakan eksistensi pribadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun