Visi Presiden Jokowi bukanlah sesuatu yang baru.
Beberapa tokoh sejarah terkenal mengutarakan gagasan yang mirip. "Lompatan Jauh ke Depan" (Great Leap Forward) dikampanyekan oleh Mao Zedong dalam periode 1958-1962. Ketua Mao bermimpi mengubah Benua Kuning dari negara agraris menjadi negara sosialis melalui industrialisasi.
Kita juga familier dengan frasa "Lompatan Iman" (Leap of Faith) yang dipopulerkan oleh Soren Kierkegaard. Gagasan ini merujuk kepada tindakan memercayai atau menerima suatu fakta di luar batas-batas nalar.
Keinginan untuk melompat ke depan itu sah-sah saja. Namun, hendaknya diingat bahwa di balik setiap lompatan terkandung resiko.
Siap Melompat, Siap Kehilangan
Setiap lompatan mensyaratkan kehilangan.Â
Artinya, ada sesuatu yang dilewatkan atau dikorbankan, meski tidak semua kehilangan merugikan.
Ketika Mike Powell menyentuh angka 8,95 meter pada tahun 1991, ia telah melewatkan 8,94 meter pasir di bawahnya. Tak ada kesedihan tergambar di raut wajahnya. Ia justru gembira. Beda ceritanya pada profesi yang lain.
Pada lingkungan yang ekstrem, mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) menentukan hidup dan mati. Bila seorang profesional melewatkan satu tahap dalam daftar ceklisnya, ia beresiko kehilangan nyawa atau perusahaan tempatnya bekerja.
Beda lagi ceritanya dalam kasus "Lompatan Jauh ke Depan" Mao Zedong. Kebijakan ini menimbulkan malapetaka sosioekonomi. Para ahli memperkirakan 20 hingga 50 juta rakyat RRC mati kelaparan akibat proyek ambisius tersebut.
Resiko dari "Lompatan Kemajuan" Jokowi