Bulan lalu, perusahaan emiten batu bara dengan aset terbesar di Bursa Efek Indonesia, PT Adaro Energy TBK (ADRO) menyampaikan akan melakukan limited review terhadap laporan keuangan konsolidasi interim 2019 untuk periode yang berakhir pada 30 Juni 2019. (Berita di sini).
Maraknya kasus laporan keuangan bodong seharusnya memicu alarm bagi pemerintah dan para stakeholder. Apakah publik masih layak memercayai perusahaan-perusahaan emiten yang berdagang di bursa saham?
Jika dunia investasi Tanah Air dipenuhi informasi-informasi manipulatif, maka sesungguhnya kita sedang menunggangi sebuah bom waktu.
Belajar dari Krisis 2008
Masih segar dalam ingatan kita ketika negeri Paman Sam bertekuk lutut akibat krisis hipotek subprima (subprime mortgage) pada tahun 2008.Â
Krisis ini dimulai ketika banyak debitur yang tidak memenuhi syarat tetap disetujui bank untuk memperoleh kredit rumah (subprime-lending). Oleh bank, ribuan kredit perumahan dibundel untuk diperdagangkan oleh perusahaan-perusahaan sekuritas.Â
Kebetulan, perusahaan-perusahaan pemberi rating selalu memberi rating tinggi untuk tipe kredit ini. Sudah puluhan tahun. Maka, instrumen kredit perumahan laris manis di pasar investasi. Padahal sebagian besar isinya sesungguhnya kredit-kredit bermasalah.
Celakanya, kredit terus diberikan bahkan ketika tingkat penjualan rumah mulai menurun. Maka, ketika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga, pinjaman tersebut terasa semakin berat. Para debitur pun bertumbangan.
Angka gagal bayar kredit menerobos segala plafon. Terjadilah efek domino. Yang paling fenomenal, perusahaan investasi sebesar Lehmann Brothers tumbang. Pada 2008, Amerika Serikat mengalami resesi.
Kita dapat memetik pelajaran berharga dari tragedi ini.
Krisis 2008 dimulai dari maraknya manipulasi peringkat utang. Hal yang sama bisa saja terjadi jika manipulasi laporan keuangan terus marak.
Sanksi yang lebih tegas perlu dipikirkan oleh pemerintah (OJK). Pengusaha dengan mudah membayar Rp 5 miliar, tetapi kerugian yang dialami para investor jauh lebih besar.Â