di sini). Kurang dari 24 jam, segampang itu.
Pria berkacamata minus itu baru saja membayar denda Rp 5 miliar kepada Otoritas Jasa Keuangan. (Baca beritanyaIa adalah Benny Tjokrosaputro, yang akrab dipanggil Bentjok.
Namaku Bentjok, Rumah Real-Estate
Tahun lalu, majalah Forbes menulis namanya di peringkat ke-43 orang terkaya di Indonesia. Dengan total kekayaan sebesar US$ 670 juta (Rp 9,38 triliun ketika itu), uang senilai Rp 5 miliar hanyalah recehan.
Sanksi itu diberikan karena Benny, sebagai Dirut, merestui laporan keuangan PT Hanson International (MYRX) yang tidak akurat. Transaksi kavling siap bangun (kasiba) senilai Rp 732 miliar dicatat sebagai pendapatan sehingga menyebabkan overstated Laporan Keuangan Tahunan (LKT) 2016 sebesar Rp 613 miliar.
Selain dia, turut didenda Adnan Tabrani, seorang direktur, sebesar Rp 100 juta dan perusahaan sebesar Rp 500 juta. Sementara Sherly Jokom, selaku Akuntan Publik, dibekukan izinnya selama satu tahun.
Padahal Bentjok, cucu dari pendiri grup usaha Batik Keris, adalah pemain lama yang cukup disegani di pasar saham. Sebagai investor veteran, ia tentu paham betul bahwa investasi sangat erat kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan. Keputusan investor bertransaksi saham ditentukan analisisnya atas laporan keuangan perusahaan emiten.
Bisa jadi, ia sudah mengalkulasi kerugian minimal untuk membidik keuntungan tertentu. Tabiat ini tampak ketika ia berhasil menangguk untung besar dari transaksi semu saham PT Bank Pikko pada tahun 1997.
Gunung Es Laporan Keuangan Bermasalah
Kasus Bentjok hanyalah puncak dari gunung es. Dalam tahun ini saja, beberapa kasus laporan keuangan bermasalah menyentak negeri.
Yang terbesar adalah skandal sulap-menyulap laporan keuangan PT Garuda Indonesia (GIAA) yang menyeruak pada bulan April 2019. (Berita di sini). Duduk permasalahannya sederhana: manajemen Garuda mengklaim piutang terhadap PT Mahata sebesar US$ 239,94 juta sebagai pendapatan dalam LKT 2018.
Setelah melakukan investigasi, OJK memutuskan manajemen PT Garuda bersalah. Berbagai sanksi dijatuhkan. Perusahaan didenda Rp 100 juta. Setiap direktur yang tanda tangan Rp 100 juta. Seperti pada kasus PT Hanson, izin Akuntan Publik Khasner Sirumapea dibekukan selama satu tahun.
Bulan lalu, perusahaan emiten batu bara dengan aset terbesar di Bursa Efek Indonesia, PT Adaro Energy TBK (ADRO) menyampaikan akan melakukan limited review terhadap laporan keuangan konsolidasi interim 2019 untuk periode yang berakhir pada 30 Juni 2019. (Berita di sini).
Maraknya kasus laporan keuangan bodong seharusnya memicu alarm bagi pemerintah dan para stakeholder. Apakah publik masih layak memercayai perusahaan-perusahaan emiten yang berdagang di bursa saham?
Jika dunia investasi Tanah Air dipenuhi informasi-informasi manipulatif, maka sesungguhnya kita sedang menunggangi sebuah bom waktu.
Belajar dari Krisis 2008
Masih segar dalam ingatan kita ketika negeri Paman Sam bertekuk lutut akibat krisis hipotek subprima (subprime mortgage) pada tahun 2008.Â
Krisis ini dimulai ketika banyak debitur yang tidak memenuhi syarat tetap disetujui bank untuk memperoleh kredit rumah (subprime-lending). Oleh bank, ribuan kredit perumahan dibundel untuk diperdagangkan oleh perusahaan-perusahaan sekuritas.Â
Kebetulan, perusahaan-perusahaan pemberi rating selalu memberi rating tinggi untuk tipe kredit ini. Sudah puluhan tahun. Maka, instrumen kredit perumahan laris manis di pasar investasi. Padahal sebagian besar isinya sesungguhnya kredit-kredit bermasalah.
Celakanya, kredit terus diberikan bahkan ketika tingkat penjualan rumah mulai menurun. Maka, ketika bank sentral menaikkan tingkat suku bunga, pinjaman tersebut terasa semakin berat. Para debitur pun bertumbangan.
Angka gagal bayar kredit menerobos segala plafon. Terjadilah efek domino. Yang paling fenomenal, perusahaan investasi sebesar Lehmann Brothers tumbang. Pada 2008, Amerika Serikat mengalami resesi.
Kita dapat memetik pelajaran berharga dari tragedi ini.
Krisis 2008 dimulai dari maraknya manipulasi peringkat utang. Hal yang sama bisa saja terjadi jika manipulasi laporan keuangan terus marak.
Sanksi yang lebih tegas perlu dipikirkan oleh pemerintah (OJK). Pengusaha dengan mudah membayar Rp 5 miliar, tetapi kerugian yang dialami para investor jauh lebih besar.Â
Selain itu, kita tidak tahu, berapa banyak LKT bodong yang lolos dari radar.
Waktulah yang akan membuktikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H