Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Gambar dan Tulisan Siapakah pada Rupiahmu, Poyuono?

18 Mei 2019   14:02 Diperbarui: 19 Mei 2019   05:47 9027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biasanya saya tidak peduli dengan urusan politik belakangan ini. Ribut, tidak produktif, munafik, egois, dan mempermalukan bangsa sendiri. 

Pun, ketika politisi memelintir-melintir ayat-ayat Kitab Sucinya demi memuluskan ambisinya, saya tidak ambil pusing. Persoalan agama adalah hal yang sensitif di negeri ini. 

Namun, ketika seorang politikus berani mengutip ayat Alkitab secara sembarangan, saya tidak bisa tetap berdiam diri. Terlebih, bila ia berasal dari kalangan sendiri. 

Sebutlah berita yang ramai dibicarakan beberapa hari ini. Tentang Arief Poyuono yang menyerukan penolakan untuk membayar pajak kepada negara.

Sederhananya, mengajak rakyat untuk menolak membayar pajak merupakan sebuah pelanggaran hukum. Mengintimidasi atau membujuk orang-orang melawan pemerintah yang sah merupakan salah satu aspek dari definisi "makar".

Namun, fokus saya bukan itu. Yang memaksa saya turun gunung adalah alasan Poyuono yang menyerempet isi Alkitab. Ia berani memelintir firman sang Raja Damai. Lancang nian!

Poyuono mengutip dari Injil Matius pasal 22 yang diyakininya memuat pembenaran untuk mangkir dari pajak. 

Di dalam perikop "Tentang Membayar Pajak kepada Kaisar", suatu kali Tuhan Yesus dicobai oleh orang-orang Farisi (ahli-ahli agama). Mereka bertanya, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar Romawi atau tidak?" (ay. 17).

Perlu diketahui, pada waktu pertanyaan ini dilontarkan, orang-orang Yahudi sedang dijajah oleh Romawi. Mereka dipaksa membayar pajak kepada Kaisar.

Pertanyaan Farisi tersebut dirancang untuk membunuh karakter Yesus. Jika dijawab "Boleh," maka Yesus kehilangan kredibilitasnya sebagai guru agama. Masakan seorang guru agama mendukung pemerintah kolonial? 

Namun, jika dijawab "Tidak boleh," apalagi di depan umum, Ia akan segera ditangkap pemerintah karena menghasut rakyat. (Resiko yang sama menanti Poyuono).

Sumber: detik.com
Sumber: detik.com

Logika Poyuono adalah menyamakan situasi saat ini dengan penjajahan di zaman Yesus. Ini tidak lain repetisi skenario play-victim yang terus dimainkan oleh kubu yang dibelanya. Seolah-olah kelompok mereka sedang ditindas.

Tidak heran bila ia kemudian berujar, "Itu kalau kaisar atau pemerintahan yang kita akui, kita wajib bayar pajak." (detiknews.com; 16/5).

Ini argumen yang konyol dari seorang yang mengaku Katolik. Jelas sekali ia tidak memahami firman Tuhan yang paling sederhana.

Dengan menyimak perikop Matius 22 baik-baik, semua akan menjadi jelas. Bahkan, bagi anak remaja sekalipun.

Perhatikan bagaimana Yesus mulai menjawab pertanyaan orang-orang Farisi. Pertama-tama, Ia meminta seorang menunjukkan sebuah "mata uang untuk pajak itu" (ay. 19). Sejurus kemudian, mereka membawa satu koin dinar kepada-Nya. 

Yesus mengunjukkan koin itu di hadapan orang banyak dan bertanya: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" (ay. 20).

Studi arkeologi menunjukkan, pada koin yang beredar di zaman itu tercetak gambar kaisar Romawi yang sedang berkuasa.

Salah satu contoh koin Romawi pada abad 1. Sumber: bible.ca
Salah satu contoh koin Romawi pada abad 1. Sumber: bible.ca

Maka, orang banyak itu menjawab: "Gambar dan tulisan Kaisar."

Tanggapan dari Yesus kemudian menyegel pelajaran-Nya pada hari itu. "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Kata kunci saya cetak tebal untuk menegaskan bahwa perintah ini bukan sebuah opsi.)

Maksud Yesus jelas: kamu harus memberikan kepada kaisar apa yang ada gambar kaisarnya, dan kepada Allah apa yang ada "gambar Allah". 

Sekarang, bagaimana aplikasi praktis dari prinsip tersebut?

Gambar dan tulisan siapakah yang tertera di setiap rupiah kita? Logo Bank Indonesia dan Garuda Pancasila. Bukan pak Jokowi. Jadi, setiap orang Kristen wajib mengembalikan uang yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pajak bagi Republik Indonesia.

Ada dua implikasi dari perintah Yesus tersebut. Pertama, bahwa pajak yang harus dibayarkan tidak bergantung pada rezim apapun. Tidak ada indikasi bahwa Yesus mengizinkan murid-murid-Nya tidak membayar pajak hanya karena mereka tidak suka dengan pemerintahnya.

Bukan karena orang Kristen takut kepada pemerintah yang berkuasa, melainkan karena mereka takut kepada Allah.

Ini sesuai dengan ketetapan Allah di bagian-bagian Alkitab yang lain. Dalam perikop "Kepatuhan kepada Pemerintah" (Roma 13:1-7), misalnya, rasul Paulus mengingatkan, "Barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah" (ay. 2). 

Paulus tidak memilah-milah rezim manapun. Mengapa? Sebab, alasannya, "tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah". 

Orang-orang Kristen memiliki paradigma dual-citizenship di dalam dirinya. Secara daging ia adalah warga bagi negaranya; secara rohani, ia adalah warganegara surga. Seorang Kristen harus menunjukkan kepatuhannya kepada dua tanah air itu.

Kedua, audience yang mendengarkan Yesus, yaitu orang-orang Yahudi, paham betul bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago-Dei). Doktrin itu tertulis di dalam kitab Torah (Kejadian 1:26).

Jika pada diri manusia terdapat gambar Allah, maka, seperti halnya koin Romawi, manusia harus memberikan diri mereka kepada yang empunya gambar itu, yaitu Allah. 

Jadi, bukan sekadar persepuluhan, pak Arief!

Saya yakin, jika seorang Arief Poyuono berani membuka Matius 22, seharusnya ia membaca Matius 17 terlebih dulu. 

Di sana ia akan menemukan bahwa Yesus bahkan mengadakan suatu mukjizat untuk membayar pajak. Dari mulut seekor ikan dikeluarkan sejumlah koin untuk membayar pajak Bait Allah. 

Melalui kisah itu sekali lagi ditegaskan bahwa Tuhan tidak memberi kelonggaran dalam membayar pajak sekuler (bagi negara) maupun pajak rohani (bagi gereja). Keduanya sama-sama wajib hukumnya, pak Arief!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun