Kata "makar" menjadi buah bibir bangsa kita belakangan ini. Individu dan kelompok tertentu diyakini tengah bersiasat untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi yang sah.Â
Konon, puncaknya akan dilangsungkan pada 22 Mei dalam bentuk pamer massa berkedok "people-power".
Banyak yang menuding pemerintah over-reactive terhadap kubu oposisi. Menciduk individu-individu yang menyuarakan "makar" dan "people-power" dianggap sama dengan memberangus kebebasan berpendapat.
O, betapa kelirunya. Dan, kekeliruan ini merupakan bukti bahwa generasi muda kita awam terhadap sejarah.
Padahal, orang-orang bijak di zaman dulu telah berulang kali memberi peringatan. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah." "Sejarah cenderung mengulang dirinya sendiri." Mengapa?
Karena mereka menyadari bahwa natur manusia di sepanjang zaman tetap sama: hatinya haus kekuasaan. Maka, penting bagi kita untuk mempelajari sejarah yang buruk supaya dapat mengantisipasi bahayanya di masa depan.
Natur manusia di sepanjang zaman tetap sama: hatinya haus kekuasaan.
Berkuasa Melalui Makar
Lahir pada 29 Juli, 1883 di Dovia, Predappio, Benito Mussolini telah menunjukkan bakat intelegensia yang tinggi sejak kecil. Ia melahap semua tulisan filsuf-filsuf Eropa semisal Immanuel Kant, Georges Sorel, Spinoza, Friedrich Nietzsche, dan Karl Marx.
Dalam usia dua puluhan, Mussolini muda bekerja untuk berbagai surat kabar. Sebagai jurnalis, ia memanfaatkan posisi itu untuk menyatakan pendapatnya yang ekstrem.