Hidup manusia unpredictable. Hidup adalah sebuah "misteri" atau "teka-teki". Tidak ada orang yang tahu pasti akan masa depannya.
Rentetan ledakan bom yang mengguncang Srilanka hari Minggu lalu (21/04) memperbesar teka-teki kehidupan bagi keluarga korban. Sampai hari ini tidak kurang dari 359 nyawa telah direnggut dengan paksa.
Sebagian besar korban adalah penduduk lokal Srilanka, tetapi setidaknya 38 merupakan orang asing dari berbagai negara: Inggris, India, Denmark, Belanda, Swiss, Spanyol, Amerika, Australia, dan Turki.
Saya tergugah untuk mengabadikan secuplik kisah hidup dari mereka yang tidak sempat berpamitan. Kesaksian dari keluarga, saksi mata, dan laporan pemerintah menolong kita untuk memperoleh sekilas gambaran kehidupan yang mereka jalani sebelum terhenti. Sebagian besar informasi ini diolah dari nytimes.com (22/04/2019).
Terpisah oleh akuarium
Sharon Silviya (26 tahun), dan ibunya, Mary Otricia Johnson (47), baru saja mengikuti Misa di gereja St. Anthony, Kolombo. Selepas ibadah, Sharon dan putranya melihat-lihat akuarium yang ada di depan gereja. Nyonya Johnson menunggu di dalam.
Beberapa menit kemudian, ledakan besar menghempas semuanya.
Segera pemandangan neraka terhampar di depan mata. "Orang-orang hancur berantakan. Darah dimana-mana," kesaksian Ny. Sharon. Dengan berat hati ia menutup mata putranya. Setelah itu ia berlari masuk mencari ibunya.
Nyonya Mary terkapar di lantai; darah mengalir dari hidung dan matanya. Tak berdaya, Sharon hanya bisa menenangkan ibunya, "Jangan takut, Bu. Bernapas saja." Orang-orang melarikannya ke rumah sakit terdekat dengan bajaj. Di tengah jalan sang ibu meninggal.
Koki pesohor dan putrinya
Shantha Mayadunne adalah koki terkenal di Srilanka. Ia memandu sebuah acara memasak di televisi lokal. Keahliannya adalah makanan keluarga cepat saji. Ia meyakini bahwa "Tidak ada yang membawa kebahagiaan lebih besar bagi keluarga selain makanan yang enak."
Pagi itu, ia dan keluarganya sedang menikmati sarapan di hotel Shangri-La, Kolombo. Nisanga Mayadunne, putrinya yang lulus dari University of London, mengabadikan momen itu dan mengunggahnya di laman Facebook.
Beberapa menit kemudian, segalanya musnah. Shantha dan Nisanga menjadi korban.
Berduka dalam sunyi
Keluarga Povlsen adalah salah satu keluarga terkaya di Denmark. Sang kepala keluarga, Anders Holch Povlsen, menikmati kekayaan miliaran dollar dari perusahaan pakaiannya, Bestseller. Sebisa mungkin Povlsen menjauhkan keluarganya dari publisitas.
Dalam sebuah wawancara, Anders Povlsen dan istrinya, Anne, telah mengemukakan rencana untuk mewariskan bisnis dan proyek-proyek keluarga kepada anak-anaknya. Salah satunya adalah proyek sosial mengembalikan fungsi hutan di lahan yang mereka miliki di Skotlandia.
Siapa sangka, tiga dari empat anaknya turut menjadi korban dalam serangan teroris Kolombo. Tersembunyi dari pandangan dunia, Povlsen berduka.
"Ayah, mengapa engkau pergi?"
Pagi itu Ravindran Fernando mengikuti Misa bersama keluarganya di dekat gereja St. Anthony. Ia duduk di bangku belakang bersama putranya, sedangkan istri dan kedua putrinya duduk di depan.
Segera setelah ledakan dahsyat mengguncang gereja, langit-langit runtuh. Tubuh Ravindran tertimpa reruntuhan. Orang-orang mengeluarkannya dan membawanya dengan ambulans. Ia meninggal di rumah sakit.
Di persemayaman, istri dan anak-anaknya yang selamat hanya bisa meratap. "Ayah, mengapa engkau pergi?" tangis salah satu putrinya. "Mengapa engkau meninggalkan kami seperti ini? Bangunlah! Engkau selalu membelikan apa yang kami minta. Tidak pernah tidak." Ravindran dulu seorang pelayan restoran.
Duda sebatang kara
Dalam sekejap, ledakan di hotel Shangri-La menjadikan seorang pria sebatang kara.
Pagi itu, Ben Nicholson sedang menikmati sarapan di restoran hotel bersama istrinya, Anita, dan kedua anaknya, Alex (14) dan Annabel (11). Mereka sedang berlibur, jauh dari rumah mereka di Singapura. Kebetulan, sang istri bekerja sebagai pengacara bagi sebuah perusahaan tambang di kota itu.
Ledakan bom memisahkan mereka untuk selamanya. Ben selamat, yang lain tidak.
Menahan haru, Ben berkata, "Syukur, mereka bertiga mati sekejap sehingga tidak mengalami kesakitan."
Hampir lolos dari maut
Razeena Khader Kukkady (58) adalah warga India yang tinggal di Dubai. Hari itu ia berada di Kolombo untuk bertemu keluarganya. Ketika bom meledak, ia baru saja check-out dari hotel Shangri-La. Sayang, ia belum sempat meninggalkan lobi hotel.
Seandainya bom meledak 5 menit kemudian, Razeena pasti selamat.
Dokter dan pemadam kebakaran menjadi korban
Mereka adalah suami-isteri pelayan masyarakat. Billy Harrop adalah pensiunan komandan pemadam kebakaran dari kota Manchester; Sally Bradley, direktur rumah sakit di Australia.
Kath Smith, rekan Sally di Australia mengenang sahabatnya. "Orangnya welas asih; sangat berfokus pada pasien. Ia sangat dihormati oleh semua kolega."
Ketika masih aktif, pak Billy dulu yang bertugas menangani para korban pasca ledakan serangan teroris kelompok IRA di Manchester pada tahun 1996.
Maut di bulan madu
"Sampai maut memisahkan." Itulah bagian dari sumpah yang diucapkan Rui Lucas (31) kepada istrinya dalam pernikahan mereka. Siapa sangka, beberapa hari kemudian, sumpah itu purna.
Rui adalah seorang teknisi listrik berkebangsaan Portugis. Setelah menikah, ia dan istrinya memutuskan berbulan madu di Kolombo, menginap di hotel Kingsbury. Pagi itu adalah kali terakhir mereka memadu kasih. Istrinya selamat.
Transit menuju baka
Salah satu hal yang menyenangkan sebagai pramugara/i adalah berkesempatan menyinggahi kota-kota indah di seluruh dunia. Dalam perjalanan dinasnya, Ahmed Zain Jaafari dan Hani Maged Othman, pramugara Maskapai Saudi Arabia, transit di Kolombo.
Para staf maskapai biasa diinapkan di hotel Cinnamon Grand. Ternyata, itulah akhir dari perjalanan Ahmed dan Hani.
Cucu ketua parpol
Maut tidak pandang bulu; teroris tidak pandang politik.
Zayan adalah cucu dari Sheikh Fazlul Karim Selim, pemimpin dari partai Liga Awami yang juga sepupu dari perdana menteri Banglades.
Sama seperti sebagian besar korban lainnya, waktu ledakan terjadi, Zayan dan ayahnya sedang sarapan di restoran hotel. Ibu dan adiknya masih berada di kamar. Ayahnya selamat tetapi tidak Zayan.
Hidup orang-orang ini, yang berakhir dalam sekejap, layak diperingati oleh kita yang hidup. Dengan merayakan kisah akhir hidup mereka, kita dapat menunjukkan kepada para teroris bahwa kebencian mereka tidak berdaya melawan kapasitas kita untuk mengasihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H