Mereka berpendapat bahwa orang yang disesah akan mengalami syok (hypovolemic-shock) karena kehilangan darah. Jantung memompa lebih cepat untuk mengompensasi kekurangan darah secara ekstrem. Penderita merasakan dehidrasi akut; terjadi penurunan stamina yang signifikan.
Kita melihat efek-efek ini begitu nyata pada Yesus sehingga ketika membopong kayu salib, Alkitab mencatat, berkali-kali Ia terjatuh. Karena itu, tentara Romawi memaksa Simon dari Kirene, seorang pelintas, untuk membawa kayu salib itu ke tempat penyaliban.
4. Disalibkan, kesulitan bernapas, mati
Dalam sebuah penyaliban, setiap luka dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit yang maksimal. Tim peneliti dari klinik Mayo mengatakan bahwa paku yang ditancapkan pada tangan merobek saraf ulnar (ulnar nerve) yang menyebabkan sensasi terbakar yang luar biasa di sepanjang lengan. Sensasi itu sebanding dengan memelintir saraf yang menyebabkan kejutan listrik bila siku Anda terpukul dengan tang.
Penyaliban sungguh terjadi. Ada begitu banyak sumber sejarah (di luar Alkitab) yang mendokumentasikan laporan bahwa Yesus memang disalibkan. Tidak kurang dari Yosefus (Josephus), sejarawan Yahudi abad 1; Tacitus, senator Romawi abad 1; Lusian dari Samosata, pujangga Yunani abad 2; semua merujuk kepada penyaliban Yesus dalam sejarah.
Penyaliban merupakan bentuk hukuman Romawi yang terberat dan paling hina. Begitu kejinya sehingga Cicero menyebutkan bahwa kata "salib" harus disingkirkan dari pikiran, mata, dan telinga orang-orang Romawi.
Seorang terpidana salib dikondisikan untuk mengalami siksaan yang menyengsarakan sebelum mati karena kesulitan bernapas (asfiksiasi). Berada dalam posisi tergantung membuat korban harus mendorong tubuhnya ke atas tiap kali hendak bernapas. Setiap pergerakan itu meledakkan sensasi nyeri di sekujur tubuh Yesus.
Dengan semua latar luka, memar, dan kurang tidur yang telah dialami Yesus sebelum disalibkan, maka setelah enam jam tergantung di kayu salib, Ia wafat.
Ini bukan pertama kalinya tentara Romawi menyaksikan kematian di kayu salib. Sebagai pembunuh profesional, mereka telah terlatih untuk memastikan seorang terpidana mati. Lagipula, ada sanksi yang tegas bila mereka gagal dalam misinya. Bila vonisnya mati, maka orang itu harus mati.
Maka, untuk memastikan kematian Yesus, seorang menikam rusuk-Nya dengan tombak (Yohanes 19:34-35). Mengucurlah air bercampur darah. Menurut jurnal medis, tikaman ini memecahkan kantung pembungkus jantung (perikardium) dimana telah terjadi akumulasi air.
Fakta bahwa Yesus mati tidak pernah dipertanyakan oleh semua tokoh yang terlibat pada abad 1. Terlalu besar resikonya kalau sampai mereka menyalibkan orang yang salah. Ada banyak saksi mata yang melihat langsung penyaliban itu.