Hebatnya, peningkatan tersebut tidak banyak mengubah karakteristik pesawat. Seorang pilot bisa segera mengendalikan pesawat yang baru dengan pelatihan minimal.
Ini menjadi alarm bagi Boeing. Meski belum diproduksi, tetapi segala pengumuman desain baru berdampak pada pemasaran. Genderang perang pun kembali ditabuh. Itulah pangkal dari bencana.
Jalan Pintas untuk Memenangkan KompetisiÂ
Untuk melawan Airbus, Boeing juga mengumumkan akan melakukan upgrade pada pesawat selevel A320. Diputuskan, tipe 737 mereka akan mengalami rekonfigurasi, dan pastinya pergantian mesin. Untuk mencerminkan peningkatan ini, namanya akan disebut 737 Max.
Untuk mengimbangi publisitas A320 Neo, Boeing juga mengklaim bahwa karakteristik 737 Max tidak akan banyak berbeda dari pendahulunya. Pilot dapat mengendarai burung besi yang baru setelah mendapatkan 2 jam kursus singkat pelatihan dengan Ipad.
Trik pemasaran berhasil. Pada tahun 2012 Boeing sukses menjual 914 unit pesawat, padahal tahun sebelumnya "cuma" 150 unit (pdxlight.com). Namun, ketika tim marketing merayakan kesuksesannya, tim riset dan produksi pusing tujuh keliling.
Pasalnya, Boeing 737 memiliki ground-clearance lebih kecil daripada Airbus 320. Dalam bahasa yang sederhana, 737 lebih rendah daripada 320. Padahal, mesin yang baru berdiameter lebih besar. Akibatnya, bila mesin baru dipasang pada 737, maka hampir tidak ada jarak tersisa antara rumah mesin dengan landasan pacu.
Kepala Pengembangan Boeing keluar dengan sebuah solusi sederhana: posisi mesin akan dinaikkan sedikit dari sebelumnya. Dalam cetak biru yang baru, terlihat bahwa bagian atas rumah mesin menyembul melebihi permukaan sayap.
Menaikkan posisi mesin melampaui sayap rupanya menimbulkan efek samping. Dalam simulasi diketahui bahwa ketika 737 Max menyemburkan tenaga maksimalnya (lepas landas), hidung pesawat cenderung naik terlalu jauh (pitch-up). Kondisi ini menyebabkan stall (kehilangan daya angkat).