Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Kongkalingkong, Penyebab Sesungguhnya Tragedi Boeing 737 Max

18 April 2019   08:04 Diperbarui: 18 April 2019   09:36 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas KNKT memeriksa reruntuhan mesin pesawat dari JT 610. Sumber: themalaysianreserve.com

Apa kabar Boeing 737 Max-8?

Nama ini populer semenjak dua kecelakaan maut yang merenggut ratusan nyawa dua tahun terakhir. Akibatnya, pesawat tipe tersebut dilarang terbang (grounded) di seluruh dunia.

Belakangan tidak lagi terdengar berita terkait 737 Max; tertutupi oleh hingar bingar politik dan isu-isu moral remaja di sosial media.

Baru-baru ini, harian Seattle Times mengungkapkan hasil investigasi mereka menyangkut penyebab sesungguhnya dari bencana Boeing 737 Max (seattletimes.com; 17/03/2019). 

Ketika pada tahun 2015 Boeing bergegas untuk mendapatkan izin terbang bagi Max, Jawatan Penerbangan Federal AS (FAA) mempercepat persetujuannya. Padahal, sistem kendali mutakhir yang disematkan Boeing menunjukkan sejumlah cacat.

Genderang yang Kembali Ditabuh 

Dua produsen pesawat terbang terbesar di dunia adalah Boeing dan Airbus. Sampai tahun 2016, Boeing disinyalir menguasai 38% pangsa pasar, sementara Airbus 28%. Keduanya musuh bebuyutan.

Kompetisi di antara keduanya tampak jelas dari produk-produk yang dihasilkan. Jika salah satu dapat menawarkan pesawat yang lebih baik, maka yang lain akan kalah saing dan merugi.

Pada tahun 2010 Airbus mengumumkan rencana meningkatkan performa (upgrade) pesawat A320 yang telah eksis. Tipe ini  banyak dipakai untuk melayani penerbangan domestik di seluruh dunia. 

Selain memaksimalkan bodi pesawat, peningkatan utama yang dikerjakan Airbus adalah memasang mesin turbofan yang baru. Dengan itu, sekalipun bodi A320 Neo membengkak, tetapi konsumsi bahan bakarnya lebih irit 15%.

Hebatnya, peningkatan tersebut tidak banyak mengubah karakteristik pesawat. Seorang pilot bisa segera mengendalikan pesawat yang baru dengan pelatihan minimal.

Ini menjadi alarm bagi Boeing. Meski belum diproduksi, tetapi segala pengumuman desain baru berdampak pada pemasaran. Genderang perang pun kembali ditabuh. Itulah pangkal dari bencana.

Jalan Pintas untuk Memenangkan Kompetisi 

Untuk melawan Airbus, Boeing juga mengumumkan akan melakukan upgrade pada pesawat selevel A320. Diputuskan, tipe 737 mereka akan mengalami rekonfigurasi, dan pastinya pergantian mesin. Untuk mencerminkan peningkatan ini, namanya akan disebut 737 Max.

Sumber: quora.com
Sumber: quora.com

Untuk mengimbangi publisitas A320 Neo, Boeing juga mengklaim bahwa karakteristik 737 Max tidak akan banyak berbeda dari pendahulunya. Pilot dapat mengendarai burung besi yang baru setelah mendapatkan 2 jam kursus singkat pelatihan dengan Ipad.

Trik pemasaran berhasil. Pada tahun 2012 Boeing sukses menjual 914 unit pesawat, padahal tahun sebelumnya "cuma" 150 unit (pdxlight.com). Namun, ketika tim marketing merayakan kesuksesannya, tim riset dan produksi pusing tujuh keliling.

Pasalnya, Boeing 737 memiliki ground-clearance lebih kecil daripada Airbus 320. Dalam bahasa yang sederhana, 737 lebih rendah daripada 320. Padahal, mesin yang baru berdiameter lebih besar. Akibatnya, bila mesin baru dipasang pada 737, maka hampir tidak ada jarak tersisa antara rumah mesin dengan landasan pacu.

Perbandingan ground-clearance Airbus 320 dan Boeing 737. Sumber: quora.com
Perbandingan ground-clearance Airbus 320 dan Boeing 737. Sumber: quora.com

Kepala Pengembangan Boeing keluar dengan sebuah solusi sederhana: posisi mesin akan dinaikkan sedikit dari sebelumnya. Dalam cetak biru yang baru, terlihat bahwa bagian atas rumah mesin menyembul melebihi permukaan sayap.

Menaikkan posisi mesin melampaui sayap rupanya menimbulkan efek samping. Dalam simulasi diketahui bahwa ketika 737 Max menyemburkan tenaga maksimalnya (lepas landas), hidung pesawat cenderung naik terlalu jauh (pitch-up). Kondisi ini menyebabkan stall (kehilangan daya angkat).

Boeing sudah mengendus masalah ini. Namun, tekanan deadline membuat mereka mengambil jalan pintas.  Alih-alih merancang ulang konfigurasi bayi 737 Max, mereka memasang sebuah piranti lunak yang secara otomatis memaksa hidung pesawat menukik (nose-down). Mekanisme ini disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).

Sumber: dailymail.co.uk
Sumber: dailymail.co.uk

Sayangnya, pilot tidak cukup dibekali pemahaman tentang fungsi MCAS. Pada tahun 2018, sejumlah pilot Amerika melayangkan keluhan kepada pemerintah bahwa 737 Max yang mereka tangani tiba-tiba menukik. Namun, tidak ada follow-up dari Boeing maupun FAA.

Kongkalingkong Membuahkan Kecelakaan

Pada 29 Oktober 2018, Lion Air JT 610 lepas landas dari Jakarta. Dalam laporan yang dirilis Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terlihat bahwa pesawat menukik (nose-down) setelah lepas landas. 

Resah dengan perilaku pesawat, sang Kapten meminta kopilot memeriksa buku panduan. Tidak ada solusi. Lion Air JT 610 meneruskan perjalanan.

Pesawat harus berjuang untuk naik ke level yang diinginkan (climbing). Mempertahankan ketinggian terbang pun dirasa sulit. Dicurigai, sensor MCAS menafsir gerakan climbing secara berlebihan sehingga senantiasa memaksa pesawat turun. Dua belas menit setelah lepas landas, JT 610 nyemplung ke Laut Jawa.

Dalam kecelakaan maskapai Etiopia, laporan juga menunjukkan pola yang sama. Bedanya, para pilot berhasil "melumpuhkan" sistem MCAS dan mengambil kendali manual. Namun, ketika itu terjadi, sudah terlambat.

Publik mempertanyakan keabsahan mekanisme yang fatal itu. Imbasnya, FAA turut diselidiki. Mengapa mereka meloloskan sistem MCAS yang bermasalah? Dugaan kongkalingkong pun merebak.

Investigasi Seattle Times mengatakan bahwa untuk mempercepat verifikasi, FAA justru menyuruh para manajer Boeing menguji sendiri pesawatnya lalu memberikan laporannya kepada mereka. Ini melanggar semua regulasi.

Menanggapi situasi yang berkembang, Boeing telah memperbaiki piranti lunak 737 Max untuk membuat MCAS kurang agresif. Selain itu, mereka menambahkan porsi latihan pilot untuk mengendalikan secara manual. Kendati demikian, kecil kemungkinan 737 Max akan kembali diminati. Reputasinya telah tercoreng.

Dua kecelakaan maut bermula dari kompetisi antar-pabrikan pesawat. Nafsu mencari laba mendorong salah satu membual bahwa pesawat mutakhirnya akan mudah dikendalikan seperti sebelumnya. Tertekan oleh ketatnya persaingan, beberapa hal dikompromikan, termasuk memintas regulasi.

Kiranya kisah 737 Max selamanya menjadi pelajaran bagi kita. Tidak ada jalan pintas menuju keselamatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun