Hari Pemilu akhirnya tiba. Rasanya seperti hari raya. Betapa tidak?
Pagi ini kami dibangunkan dengan rentetan lagu-lagu perjuangan yang menggema dari arah TPS. Jarum jam masih menunjukkan pukul 5. Begitulah semangat masyarakat Minahasa menyambut hari Pencoblosan.
Pemilu kali ini semakin terasa seperti hari raya karena berdekatan dengan perayaan Jumat Agung dan Kebangkitan Kristus. Di sini sekolah-sekolah dan sebagian besar institusi pendidikan lain menetapkan libur seminggu guna menyambut hari-hari besar agama Kristen itu. Beberapa kolega berencana mudik setelah menunaikan hak pilih mereka.
Prosesi Pembuka TPS
Pukul tujuh kurang saya memutuskan berangkat menuju TPS 04 yang cuma sepelemparan batu jaraknya. Saya datang pada waktu yang tepat karena bisa menyaksikan prosesi pelaksanaan Pemilu sejak awal.
Baca juga: Mari Jo Torang Bacoblos (1) -Â Persiapan
Semua petugas, pengawas, dan saksi telah hadir. Pak Amir, ketua PPS, mengumpulkan semua petugas untuk memulai aktivitas dengan berdoa. Dilanjutkan dengan pengambilan sumpah petugas. Selesai dengan sumpah, saatnya membuka segel kotak suara. Para saksi diminta maju mendekat untuk menyaksikan pembukaan segel dan konfirmasi jumlah surat suara tersedia.
Prosesi ini ternyata memakan waktu lama. Jam menunjukkan pukul 07.30. Seorang bapak yang menunggu sejak jam 7 memutuskan balik kanan. "Sudah mau telat kerja", katanya. Dari seragam yang dikenakannya, sepertinya ia bekerja di sebuah hotel.
Hak Pilih yang Menguap
Pada pukul 07.40 akhirnya pemungutan suara dibuka. Saya memberi kode kepada salah seorang petugas yang saya kenal.
Mendengar situasi saya, petugas menetapkan vonis. Saya tidak bisa mencoblos. Alasannya, tidak memiliki formulir A5.
It's just felt so wrong. Masakan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hak pilih saya?
Begitulah. Sebuah informasi dari Kompas (tertanggal kemarin) menyebutkan bahwa perantau seperti saya diberi kesempatan untuk mengurus A5 maksimal 10 April silam. Jelas, sudah terlambat. Batin mencoba membela diri, "Mengapa saya tidak mendapat informasi ini sebelumnya?"
Teringat, istri saya nun jauh di Jogja telah mencoba memperjuangkan hak pilihnya ke kantor KPUD di awal bulan ini. Namun, entah bagaimana, dia dan belasan mahasiswa rantau lainnya tidak berhasil.
Seorang teman lama saya juga mengeluhkan hal yang sama. Kebetulan, dua hari yang lalu perusahaan mengutusnya ke kota Sorong. Tak sempat mengurus A5, kini hak pilihnya menguap. Bagaimana itu? Belum lagi puluhan mahasiswa praktik di gereja kami pagi ini juga melaporkan tidak bisa memilih.
Petugas bergeming. Deadlock. Tidak ada solusi. Saya memutuskan pulang saja daripada gebrak meja.
Bila Tetua Mencoblos
Pukul 09.15, matahari sudah naik. Ibu mertua telah menyelesaikan sejumlah pekerjaan rutin. Saatnya menunaikan tugas negara. Saya turut menemani. Twitter mengikuti.
Proses berjalan lancar. Beliau mendaftar ulang lalu duduk menunggu giliran.
Berada di TPS ini rasanya seperti berada dalam pertemuan ibadah kolom gereja. Semua saling mengenal. Pak Suak dan bu Umboh sudah lebih dulu tiba. Nama mereka dipanggil, lalu ibu mertua saya. Sebelum masuk ke bilik suara, kertas-kertas suara dipampangkan supaya dipastikan steril dari lubang.
Rata-rata waktu yang dihabiskan di bilik suara 4-5 menit. Khusus ibu mertua saya, lebih cepat sedikit.
Baca juga: Mari Jo Torang Bacoblos (1) -Â Penghitungan
Sampai di rumah beliau bercerita. Dari lima kertas, dia hanya mencoblos dua: kertas suara untuk presiden dan untuk DPR pusat. Begitu banyak nama yang tidak ia kenal pada ketiga kertas yang lain. Jadi, ia hanya mencoblos partai. Begitulah cara tetua memilih: berdasarkan loyalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H