Mendengar situasi saya, petugas menetapkan vonis. Saya tidak bisa mencoblos. Alasannya, tidak memiliki formulir A5.
It's just felt so wrong. Masakan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hak pilih saya?
Begitulah. Sebuah informasi dari Kompas (tertanggal kemarin) menyebutkan bahwa perantau seperti saya diberi kesempatan untuk mengurus A5 maksimal 10 April silam. Jelas, sudah terlambat. Batin mencoba membela diri, "Mengapa saya tidak mendapat informasi ini sebelumnya?"
Teringat, istri saya nun jauh di Jogja telah mencoba memperjuangkan hak pilihnya ke kantor KPUD di awal bulan ini. Namun, entah bagaimana, dia dan belasan mahasiswa rantau lainnya tidak berhasil.
Seorang teman lama saya juga mengeluhkan hal yang sama. Kebetulan, dua hari yang lalu perusahaan mengutusnya ke kota Sorong. Tak sempat mengurus A5, kini hak pilihnya menguap. Bagaimana itu? Belum lagi puluhan mahasiswa praktik di gereja kami pagi ini juga melaporkan tidak bisa memilih.
Petugas bergeming. Deadlock. Tidak ada solusi. Saya memutuskan pulang saja daripada gebrak meja.
Bila Tetua Mencoblos
Pukul 09.15, matahari sudah naik. Ibu mertua telah menyelesaikan sejumlah pekerjaan rutin. Saatnya menunaikan tugas negara. Saya turut menemani. Twitter mengikuti.
Proses berjalan lancar. Beliau mendaftar ulang lalu duduk menunggu giliran.
Berada di TPS ini rasanya seperti berada dalam pertemuan ibadah kolom gereja. Semua saling mengenal. Pak Suak dan bu Umboh sudah lebih dulu tiba. Nama mereka dipanggil, lalu ibu mertua saya. Sebelum masuk ke bilik suara, kertas-kertas suara dipampangkan supaya dipastikan steril dari lubang.