Masturbasi tidak akan diperlukan jika seorang telah menemukan kepuasan di dalam sebuah hubungan.Â
Anak yang merasa cukup diterima, diperhatikan, dilindungi, dan dirawat, entah itu di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja, lebih resistant terhadap dorongan untuk melakukan kegiatan yang dilarang agama itu.
Mereka yang berorasi di dalam kampanye akbar kemarin menunjukkan ciri-ciri pribadi yang kecewa dan terluka dengan otoritas. Saya menduga, struktur jiwa mereka tidak dibekali kepercayaan diri yang sehat. Â
Alih-alih meningkatkan kualitas hidup, mereka memilih "bermasturbasi"; memuaskan diri dengan puji-pujian dan mencaci-maki kelompok di luar mereka.
Yang mereka inginkan hanyalah gratifikasi instan untuk melepaskan diri dari tekanan. Secara mental mereka lumpuh; tidak dapat berpikir, apalagi menawarkan solusi.Â
Seperti anak remaja yang uring-uringan kalau belum menonton video porno, mereka incapable untuk memikirkan hal-hal yang konstruktif.
Menanti Orasi yang MenginspirasiÂ
Dr. Louis Perron, seorang konsultan politik yang berbasis di Swiss, menyebut tujuh tren kampanye politik saat ini (campaignsandelections.com). Salah satunya, calon pemilih tampaknya semakin rela berkompromi. Mereka bersedia memaafkan cacat-cacat pada junjungan mereka. Kebijakan-kebijakan yang konyol atau merugikan, seperti menghapus pajak kendaraan bermotor, dapat dimaklumi selama kepada mereka dijanjikan sejumlah kesepakatan yang menguntungkan.
Memanfaatkan tendensi demikian, kandidat pemimpin atau calon legislator akan mengumbar janji-janji yang paling meninabobokan rakyat dalam kampanye-kampanyenya. Selebihnya, mereka tinggal berorasi untuk membanggakan dirinya dan menjelekkan yang lain.
Pola kampanye seperti ini bersifat korosif bagi demokrasi. Bila dibiarkan, generasi muda kita tidak akan pernah belajar apa itu kampanye dan bagaimana berkampanye secara sehat.
Kampanye adalah sebuah transaksi atas gagasan, rencana, atau manifesto politik.