Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Orasi Menjadi "Onani Politik"

8 April 2019   16:12 Diperbarui: 8 April 2019   21:27 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masturbasi tidak akan diperlukan jika seorang telah menemukan kepuasan di dalam sebuah hubungan. 

Anak yang merasa cukup diterima, diperhatikan, dilindungi, dan dirawat, entah itu di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja, lebih resistant terhadap dorongan untuk melakukan kegiatan yang dilarang agama itu.

Mereka yang berorasi di dalam kampanye akbar kemarin menunjukkan ciri-ciri pribadi yang kecewa dan terluka dengan otoritas. Saya menduga, struktur jiwa mereka tidak dibekali kepercayaan diri yang sehat.  

Alih-alih meningkatkan kualitas hidup, mereka memilih "bermasturbasi"; memuaskan diri dengan puji-pujian dan mencaci-maki kelompok di luar mereka.

Yang mereka inginkan hanyalah gratifikasi instan untuk melepaskan diri dari tekanan. Secara mental mereka lumpuh; tidak dapat berpikir, apalagi menawarkan solusi. 

Seperti anak remaja yang uring-uringan kalau belum menonton video porno, mereka incapable untuk memikirkan hal-hal yang konstruktif.

Menanti Orasi yang Menginspirasi 

Dr. Louis Perron, seorang konsultan politik yang berbasis di Swiss, menyebut tujuh tren kampanye politik saat ini (campaignsandelections.com). Salah satunya, calon pemilih tampaknya semakin rela berkompromi. Mereka bersedia memaafkan cacat-cacat pada junjungan mereka. Kebijakan-kebijakan yang konyol atau merugikan, seperti menghapus pajak kendaraan bermotor, dapat dimaklumi selama kepada mereka dijanjikan sejumlah kesepakatan yang menguntungkan.

Memanfaatkan tendensi demikian, kandidat pemimpin atau calon legislator akan mengumbar janji-janji yang paling meninabobokan rakyat dalam kampanye-kampanyenya. Selebihnya, mereka tinggal berorasi untuk membanggakan dirinya dan menjelekkan yang lain.

Pola kampanye seperti ini bersifat korosif bagi demokrasi. Bila dibiarkan, generasi muda kita tidak akan pernah belajar apa itu kampanye dan bagaimana berkampanye secara sehat.

Kampanye adalah sebuah transaksi atas gagasan, rencana, atau manifesto politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun