Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Orasi Menjadi "Onani Politik"

8 April 2019   16:12 Diperbarui: 8 April 2019   21:27 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya saya meminta maaf bila judul tulisan ini agak vulgar.

Mau bagaimana lagi? Berputar-putar mencari istilah yang tepat, tetapi tidak kunjung ketemu. Terkadang, urgensi dan signikansi suatu isu tidak boleh dikompromikan dengan eufemisme. Hanya frasa yang vulgar yang pantas dipakai untuk membeberkan praktik yang tidak senonoh, bukan?

Tulisan ini berangkat dari keresahan saya terhadap pola kampanye yang marak di negeri kita belakangan ini. Kampanye yang kemarin seakan menjadi gongnya.

Menurut saya, kampanye pamungkas dari salah satu kubu capres kemarin lebih menyerupai sebuah ajang "onani politik" ketimbang orasi yang menginspirasi. Mengapa demikian?

Potret "Onani Politik" dalam Kampanye Akbar

Hari Minggu adalah hari yang sakral---harinya Tuhan---bagi orang Kristen. Kebetulan, salah satu capres kita, yang membanggakan bahwa ibunya adalah Kristen, memilih mengisi hari itu dengan menggelar sebuah kampanye akbar. Tampaknya ia begitu bernafsu menjadi presiden sehingga melupakan nasihat ibunya untuk menguduskan hari Sabat.

Sejak awal sang capres seakan ingin cepat memperoleh kepuasan. Ia memulai dengan meminta panitia mengonfirmasi jumlah peserta yang hadir. Ekspektasinya 1 juta orang. 

Begitu konfirmasi sesuai ekspektasi, ia langsung mendeklarasikan bahwa kampanye itu adalah "rapat politik terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia". "Orgasme" pertama pun tercapai.

Puas dengan yang pertama, ia bernafsu mengejar yang berikut-berikutnya. Dalam onani, maaf, orasinya, ia tak segan memuncratkan aneka kritik anti-pemerintah. Segala topik dan isu diarahkan untuk memuaskan syahwatnya. Ia mengumpat "Ndasmu!" terhadap pertumbuhan ekonomi 5% yang dicapai oleh bangsa kita. Menurutnya, Indonesia telah dirampok asing Rp 2000 triliun. Nama KPK pun dicatut untuk membenarkan delusinya. Kurang puas, ia melontarkan kesimpulan bahwa "ibu pertiwi sedang diperkosa".

Politisi dan para pendukung yang berdiri di kubunya seolah tidak ingin ketinggalan. Ramai-ramai mereka memuaskan "birahi" sang capres atau kelompok agamis mereka. Wakilnya memuja-muji sang mantan jenderal sebagai lelaki sejati yang tidak pernah ingkar janji. Kendati jauh panggang dari api, yang lain menyanjung keislaman sang capres. Yang lain lagi mengklaim bahwa segenap alim ulama mendukung mereka. Ada pula yang bahkan berani mengklaim Tuhan sendiri turun tangan mendukung mereka. Buktinya? Ada awan berlafal nama-Nya di langit di atas mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun