Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Reb Tevye, Feminisme, dan Emansipasi Pria

9 Maret 2019   17:51 Diperbarui: 11 Maret 2019   10:38 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Gerakan laki-laki feminis (pixabay.com/StockSnap)

Pada tanggal 8 Maret 2019 kemarin kembali dunia merayakan Hari Perempuan Internasional. Menarik untuk diketahui bahwa hari perayaan ini sesungguhnya dicetuskan oleh kaum Sosialis. Pertama kali diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika pada 1909, lalu disusul oleh Partai Sosialis di Rusia.

Tema untuk tahun ini dirangkum dalam kalimat singkat, "Balance for Better." Menjaga keseimbangan merupakan usaha yang berbahaya, ibarat bermain biola di atas atap genting. Demikianlah pesan moral yang disampaikan oleh sebuah film keluaran tahun 1971 berjudul "Fiddler on the Roof".

Revye dan Kurungan Tradisi 

Reb (sapaan yang berarti "Tuan") Tevye, seorang Yahudi tukang susu, hidup di desa Anatevka yang termasuk wilayah Rusia. Saat itu tahun 1905. Ia dan istrinya yang bermulut tajam, Golde, dikaruniai lima orang anak, semuanya putri. Berturut-turut dari yang sulung: Tzeitel, Hodel, Chava, Shprintze, dan Bielke.

Yente, mak comblang di desa itu, menjodohkan Tzeitel dengan Lazar Wolf, seorang tukang daging yang kaya. Tawaran itu disambut baik. Satu-satunya kendala, Tzeitel kadung jatuh cinta dengan seorang tukang jahit, yaitu Motel Kamzoil. Bagaimanapun, tradisi adalah tradisi. Seperti kisah Siti Nurbaya, keputusan pertunangan berada di tangan kepala keluarga.

Sementara Tevye sibuk membayangkan keuntungan menjadi mertua Lazar yang kaya, seorang mahasiswa baru tiba dari Kiev. Perchik namanya. Ia berpikiran revolusioner.

Bom jatuh di rumah Tevye. Motel, yang biasanya pendiam dan penakut, dengan gagah berani datang memberitahu Tevye bahwa ia dan Tzeitel telah berikrar untuk menikah. Ia berargumen, "Bahkan seorang penjahit miskin juga layak mendapat kebahagiaan dalam hidup".

Tevye marah. Tidak pernah sebelumnya orang bertunangan tanpa dijodohkan. Namun, keteguhan hati Motel dan belas kasihannya terhadap Tzeitel meluluhkan hatinya. Ia merestui hubungan mereka berdua.

Satu tradisi dipatahkan. Dua lagi menyusul.

Beberapa waktu kemudian, Perchik memberitahu Hodel, putri kedua Tevye, bahwa ia harus kembali ke Kiev. Ia pun melamar Hodel. Mereka berdua datang kepada Tevye.

Tradisi kembali dilanggar. Sebab, pertunangan hanya boleh diusulkan oleh kepala keluarga. Tevye berang, terlebih setelah Perchik dan Hodel mengatakan bahwa kedatangan mereka bukan untuk meminta izinnya, melainkan restunya.

Tevye menelisik ke dalam dirinya. Di saat yang sama ia membuka mata. Dunia sedang berubah rupanya.

Sekarang giliran Chava. Ia datang kepada ayahnya meminta izin untuk menikah dengan Fyedka, seorang pemuda Rusia beragama Kristen Orthodox. Tevye menolak. Menikah dengan non-Yahudi adalah pagar yang tidak boleh dilanggar. Chava berontak. Ia kawin lari.

Reb Tevye mewakili tirani patriarkis yang disinyalir telah berkuasa sejak bumi diciptakan. Di mata kaum feminis, kaum pria telah mengurung mereka di dapur selama ribuan tahun. Tirani ini harus diruntuhkan melalui kesadaran akan kesetaraan gender.

"Kesetaraan Kesempatan" atau "Kesetaraan Hasil"

Gerakan feminisme yang bermula pada dekade 1960-an mencita-citakan pembebasan kaum wanita dari penindasan oleh kaum pria. Visi ini akan tercapai bila perempuan mendapatkan "kesempatan yang setara" (equal opportunity) dan "hasil yang setara" (equal outcome).

Dengan kata lain, perempuan tidak hanya boleh menjadi insinyur, pembalap, astronot, atau CEO, tetapi mereka juga harus memperoleh gaji, fasilitas, dan tunjangan yang sama ketika menduduki posisi-posisi itu. Ini tentu baik. Sesungguhnya, semua perusahaan ingin secara adil mengeksploitasi siapapun yang memiliki keahlian tertentu dengan bayaran yang sepadan.

Jadi, bila wanita diberikan kesempatan yang setara untuk menempati fungsi-fungsi yang dikerjakan laki-laki, maka pada suatu saat distribusi keahlian di antara kedua gender menjadi berimbang. Yang terjadi malah sebaliknya.

Di negara-negara Skandinavia yang menerapkan kesetaraan gender, pilihan profesi laki-laki dan perempuan justru semakin berbeda. Mengapa demikian?

Secara biologis, laki-laki lebih tertarik pada benda atau hal, sedangkan perempuan lebih tertarik pada manusia atau relasi. Bidang ilmu teknik menuntut perhatian kepada benda atau sistem, maka lebih banyak laki-laki berprofesi sebagai insinyur karena merasa nyaman dengan bidang itu. Dengan alasan yang sama, statistik menunjukkan bahwa jumlah perawat wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki.

Hal yang sama diindikasikan oleh penelitian yang diadakan bersama oleh Google dan Nielsen. Mereka menemukan bahwa kategori game, olahraga, dan dunia virtual lebih banyak ditonton laki-laki. Sedangkan, kategori yang banyak ditonton oleh perempuan berhubungan dengan kosmetik, perawatan kuku, dan diet (mediakix.com; 27/2/2019).

poster film Fiddler on the Roof (pinterest.com/Deanna Hammond)
poster film Fiddler on the Roof (pinterest.com/Deanna Hammond)
Mengidamkan Laki-Laki yang Lebih Lembut

Feminisme di Amerika telah berevolusi menjadi perjuangan kelas Marxis dengan "kaum feminis" di satu sisi dan "supremasi laki-laki" di kubu yang lain. Narasi yang hendak dibangun adalah bahwa kubu yang pertama adalah golongan korban yang sedang melawan kesewenangan "borjuis".

Salah satu buah kemenangan dari kaum feminis adalah kebebasan reproduktif. Dalil mereka, setiap perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya. Karena itu, perempuan boleh memilih menggugurkan janin di dalam perutnya (pro-choice) tanpa intimidasi dari pria manapun.

Kecemasan terhadap tirani patriarkis dengan cepat berubah menjadi penghakiman terhadap kaum pria. Laki-laki yang memperjuangkan karirnya dengan gigih dicurigai sedang menampilkan kuasa maskulin tiraninya untuk mencegah karir kaum perempuan.

Dalam perkembangannya, kaum feminis meminta kaum pria untuk menjadi lebih "feminin". Mereka harus belajar mengekspresikan perasaan dengan lebih terbuka, berempati, dan berbelas kasih. Laki-laki juga diingatkan memiliki kesempatan yang setara untuk menjadi ayah-rumah-tangga penuh waktu (everydayfeminism.com; 10.1/2014). Hal ini jelas tidak akan dipenuhi oleh Tevye.

Narasi seperti ini sesungguhnya merugikan semua pihak, baik kaum pria maupun kaum wanita. Melemahkan semangat kaum pria untuk menjadi kuat dalam hidup jelas tidak memberi keuntungan apapun bagi sang pemuda. Sedangkan, dalam jangka panjang, kaum wanita akan dirugikan karena semakin sulit menemukan calon pasangan yang kuat ditempa kehidupan.

Diperlukan Emansipasi Laki-Laki

"Emansipasi" didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai "pembebasan dari perbudakan." Istilah ini identik dengan perjuangan penyetaraan hak-hak wanita Indonesia oleh Ibu Kartini. Tidak demikian di Amerika. "Proclamation of Emancipation" adalah judul sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Abraham Lincoln. Isinya mengamanatkan penghapusan perbudakan.

Emansipasi wanita akan sulit dicapai bila kaum pria sendiri tidak dimerdekakan dari tradisi yang kolot. Emansipasi wanita harus diikuti oleh emansipasi laki-laki. Dalam hal ini, tradisionalisme adalah musuh bersama pria dan wanita.

Banyak dari kaum pria sesungguhnya terkurung dalam sejumlah pola pikir tradisional. Dalam budaya Batak, misalnya, laki-laki seperti saya tanpa sadar dididik untuk mementingkan gengsi. Karena gengsi, laki-laki jarang meminta maaf. Demi gengsi, laki-laki sulit berkompromi terhadap istrinya.

Laki-laki perlu dibebaskan dari perbudakan mentalitas semacam itu. Kepadanya perlu ditanamkan moralitas sosial yang baru; semacam revolusi mental. Meski dalam prosesnya, keterkiliran (disequilibrium) norma tidak terhindarkan.

Dalam hal ini, kompromi yang sehat diperlukan. Disebut sehat karena hal itu tidak menuntut pengorbanan yang sampai melemahkan kepribadiannya.

Tevye berusaha keras untuk mempertahankan tradisi tetapi kalah. Lebih tepatnya, ia mengalah. Melalui berbagai konflik dengan putri-putrinya, ia akhirnya melihat kebijaksanaan bahwa seringkali dibutuhkan kompromi yang sehat untuk menyambut perubahan. Ketika ia bersedia melenturkan dominasinya, ia mempertahankan keluarganya.           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun