Feminisme di Amerika telah berevolusi menjadi perjuangan kelas Marxis dengan "kaum feminis" di satu sisi dan "supremasi laki-laki" di kubu yang lain. Narasi yang hendak dibangun adalah bahwa kubu yang pertama adalah golongan korban yang sedang melawan kesewenangan "borjuis".
Salah satu buah kemenangan dari kaum feminis adalah kebebasan reproduktif. Dalil mereka, setiap perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya. Karena itu, perempuan boleh memilih menggugurkan janin di dalam perutnya (pro-choice) tanpa intimidasi dari pria manapun.
Kecemasan terhadap tirani patriarkis dengan cepat berubah menjadi penghakiman terhadap kaum pria. Laki-laki yang memperjuangkan karirnya dengan gigih dicurigai sedang menampilkan kuasa maskulin tiraninya untuk mencegah karir kaum perempuan.
Dalam perkembangannya, kaum feminis meminta kaum pria untuk menjadi lebih "feminin". Mereka harus belajar mengekspresikan perasaan dengan lebih terbuka, berempati, dan berbelas kasih. Laki-laki juga diingatkan memiliki kesempatan yang setara untuk menjadi ayah-rumah-tangga penuh waktu (everydayfeminism.com; 10.1/2014). Hal ini jelas tidak akan dipenuhi oleh Tevye.
Narasi seperti ini sesungguhnya merugikan semua pihak, baik kaum pria maupun kaum wanita. Melemahkan semangat kaum pria untuk menjadi kuat dalam hidup jelas tidak memberi keuntungan apapun bagi sang pemuda. Sedangkan, dalam jangka panjang, kaum wanita akan dirugikan karena semakin sulit menemukan calon pasangan yang kuat ditempa kehidupan.
Diperlukan Emansipasi Laki-Laki
"Emansipasi" didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai "pembebasan dari perbudakan." Istilah ini identik dengan perjuangan penyetaraan hak-hak wanita Indonesia oleh Ibu Kartini. Tidak demikian di Amerika. "Proclamation of Emancipation" adalah judul sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Abraham Lincoln. Isinya mengamanatkan penghapusan perbudakan.
Emansipasi wanita akan sulit dicapai bila kaum pria sendiri tidak dimerdekakan dari tradisi yang kolot. Emansipasi wanita harus diikuti oleh emansipasi laki-laki. Dalam hal ini, tradisionalisme adalah musuh bersama pria dan wanita.
Banyak dari kaum pria sesungguhnya terkurung dalam sejumlah pola pikir tradisional. Dalam budaya Batak, misalnya, laki-laki seperti saya tanpa sadar dididik untuk mementingkan gengsi. Karena gengsi, laki-laki jarang meminta maaf. Demi gengsi, laki-laki sulit berkompromi terhadap istrinya.
Laki-laki perlu dibebaskan dari perbudakan mentalitas semacam itu. Kepadanya perlu ditanamkan moralitas sosial yang baru; semacam revolusi mental. Meski dalam prosesnya, keterkiliran (disequilibrium) norma tidak terhindarkan.
Dalam hal ini, kompromi yang sehat diperlukan. Disebut sehat karena hal itu tidak menuntut pengorbanan yang sampai melemahkan kepribadiannya.