Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Organisasi Relawan Politik: Tangan Kiri yang Semakin Dominan

11 Februari 2019   19:09 Diperbarui: 12 Februari 2019   01:50 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relawan Risma Triharini, Jaklovers, di Monas, Jakarta. kompas.com/jessie carina

Dinamika politik Indonesia jelang Pilpres 2019 sepintas mengingatkan kita kepada sebuah sinema berjudul Our Brand Is Crisis. Ceritanya, seorang konsultan politik Jane Bodine (Sandra Bullock) dan timnya bekerja all-out untuk memenangkan seorang kandidat presiden Bolivia, Pedro Castillo. 

Kebetulan, lawan terkuatnya, Rivera, dibentengi oleh konsultan politik musuh bebuyutan Bodine, yaitu Pat Candy (Billy Bob Thornton). Jadilah ajang kampanye Pilpres itu sebuah perang strategi yang kejam, tidak beretika, tetapi kadang-kadang konyol dan lucu.

Di tengah-tengah perseteruan kedua konsultan itu, ada dua tokoh minimalis tetapi tampak berperan besar di kubu Castillo. Yang pertama, seorang laki-laki bernama Eduardo, dan yang lain, seorang gadis bernama Sarah LeBlanc. 

Eduardo adalah seorang relawan kampanye. Sedangkan, Sarah LeBlanc adalah tangan kiri Bodine untuk menjalankan kampanye negatif. Namun, sebagai relawan, Eduardo terjebak dalam kebingungan peran. Kadang ia dipakai sebagai tangan kanan Bodine, tetapi di lain waktu ia diminta melakukan pekerjaan tangan kiri LeBlanc.

Kemunculan dan Motivasi Relawan Politik

Saya tidak tahu sejak kapan percaturan politik Indonesia ramai dihiasi oleh relawan politik semacam Eduardo. Pikiran awam condong mengaitkan dengan Pilpres 2014 yang lalu sebagai kebangkitan relawan politik yang terorganisir.

Kala itu disinyalir muncul sebanyak 1.289 kelompok relawan pendukung pasangan Jokowi-JK. Organisasi-organisasi relawan politik (ORP) ini mudah dibedakan menjadi dua: kelompok yang dibentuk sendiri oleh tim kampanye, dan kelompok yang berdiri atas inisiatif pribadi. 

Jumlah yang terakhir jauh lebih banyak. Sebagian besar dari mereka berasal dari kelas menengah urban yang kritis terhadap dinamika politik. Mereka terpanggil untuk memastikan perubahan geopolitik.

Di kemudian hari, ORP-ORP menjamur juga di desa-desa seiring meningkatnya kebutuhan untuk menang dalam Pilkada-Pilkada.

Cara relawan politik menunjukkan eksistensi diri mereka beraneka ragam dan unik-unik. Ada yang membuat spanduk atau baliho dukungan kepada paslon tertentu, tetapi disertai foto dirinya sendiri. Jenis ini disinyalir haus akan perhatian. Ada yang rajin mem-broadcast puji-pujian terhadap junjungannya sembari memojokkan kandidat lawan. 

Yang ini mengalami masalah dengan self-esteem. Tidak sedikit pula yang berdedikasi dan berani berkorban, dengan mengadakan acara dukungan, mengumpulkan tanda-tangan, fotokopi KTP, dsb. Biasanya mereka adalah anak-anak muda dan artis. Jenis yang terakhir ini umumnya tergabung dalam sebuah organisasi.

Relawan politik sulit diidentifikasi secara pasti. Mereka ibarat bunglon. Pada dasarnya, masing-masing adalah anggota dari komunitas-komunitas sosial yang berganti jubah pada masa kampanye. Jadilah komunitas sepeda onthel, komunitas motor besar, alumni perguruan tinggi, pedagang pasar, dan emak-emak untuk sementara waktu mengenakan identitas politik tertentu.

Setelah masa kampanye, sebagian besar akan kembali memakai jubah yang lama. Sebagian lagi berhasil memanjat status. Ini dirasakan lebih cepat daripada melalui jalur parpol. Diketahui, sejumlah relawan Projo, misalnya, diangkat menjadi komisaris di beberapa BUMN setelah Jokowi menang pada 2014.

Sisi Positif Relawan Politik

Komunitas relawan paslon dapat mengumpulkan dana kampanye yang tidak sedikit. Dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) yang disampaikan tim kampanye Jokowi-JK pada tahun 2014, dana yang terkumpul secara perorangan mencapai Rp 42.744.462.048! Angka ini diakumulasi oleh 59.000 penyumbang dengan nilai rata-rata di bawah Rp 100.000.

Naiknya Emmanuel Macron menjadi presiden Perancis pun sepenuhnya bergantung pada perjuangan relawannya. Tanpa dukungan dari parpol, gerakan Macron, En Marche! (On the Move) otomatis menjadi pengganti mesin partai yang beranggotakan 230 ribu relawan. Lebih dari 6,5 juta berhasil mereka kumpulkan, dengan rata-rata sumbangan 250.

Ini membuktikan dua hal: pertama, bahwa potensi sumberdaya ORP bisa melampaui parpol, dan kedua, bahwa ORP akan terus ada selama undang-undang mengizinkan calon independen.

Sisi positif lain dari kehadiran relawan politik tampak ketika Jokowi-JK mulai menyusun kabinet pemerintahan. Kala itu, para relawan politik dilibatkan untuk mengusulkan nama-nama menteri yang layak masuk "the dream team." Langkah ini dinilai jitu untuk mencegah presiden terjebak dalam pola transaksional partai politik. Ujung-ujungnya, publik dipuaskan harapannya.

Sisi Negatif Relawan Politik

Kelompok-kelompok relawan politik beraktivitas secara offline dan online. Idealnya, yang mereka lakukan adalah meyakinkan swing-voters untuk memilih jagoan mereka. Masalahnya, idealisme itu tidak selalu disertai dengan kedewasaan berpolitik individual. 

Meneliti lebih dari 3.000 relawan Obama dalam Pilpres Amerika 2012 silam, Ryan D. Enos (Harvard) dan Eitan D. Hersh (Yale) menemukan bahwa para relawan itu "demographically unrepresentative, ideologically extreme, cared about atypical issues, and misunderstood the voters' priorities" (nytimes.com, 07/11/2014).

Kedewasaan berpolitik umat pemilih di Indonesia pun jauh panggang dari api. Implikasinya, yang terjadi saat ini adalah tsunami perdebatan dan penistaan, baik di lapangan, apalagi di dunia maya. Perang posting berkecamuk di jejaring-jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan whatsapp tanpa dapat dipadamkan oleh Undang-Undang ITE.

Bahkan, di antara relawan-relawan politik satu kubu tidak selalu terdapat visi dan misi yang sama. Seringkali terjadi konflik kepentingan di antara para relawan yang memiliki agenda masing-masing. Ketua Umum Garuda Emas, Dody Panjaitan, di Rumah Aspirasi Prabowo/Sandi sampai harus mengingatkan agar sesama relawan tidak saling sikut (Elshinta.com, 02/02/2019).

Bagaimana perangkat undang-undang meredam gejala negatif ini?

Pasal 269 dari UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum merumuskan pelaksana kampanye Pemilu terdiri atas "pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik pengusul, orang-seorang, dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden." Tim kampanye ini kemudian "harus didaftarkan pada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota" (Pasal 272).

Dalam kontestasi Pilpres 2019, Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyebut ada 501 kelompok relawan yang mendukung pasangan tersebut pada Pilpres 2019 (Tirto.id, 26/09/2018). Sementara itu, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengklaim sudah ada 450 lebih kelompok relawan (Kabar24.com, 23/11/2018).

Namun, hanya sebagian kecil dari organisasi relawan itu yang didaftarkan sebagai bagian dari tim kampanye. Sedangkan, larangan yang dirinci dalam Pasal 280 hanya dapat dikenakan pada "Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu." Akibatnya, Bawaslu tidak dapat menghukum calon atau partai tertentu semisal didapati kampanye hitam oleh kelompok relawan yang tidak terdaftar. Padahal, bisa jadi kelompok itu merupakan tangan kiri partai di bawah meja. Begitupun, seharusnya kejahatan mereka dapat dibuktikan bila aliran dana yang bersangkutan ditelusuri.

Menurut hemat saya, Pasal 269 dapat dipertajam. Struktur, jumlah, dan ideologi ORP perlu juga diatur dalam regulasi. Segala tindakan kelompok relawan yang didaftarkan merupakan tanggung jawab tim kampanye yang diawasi oleh Bawaslu. Celah-celah lain juga dapat ditambal. Kita dapat mencontoh rincian di negara bagian Montana, Amerika, yang melarang relawan memakai atau menunjukkan emblem-emblem apapun yang dapat mempromosikan kandidat junjungannya pada hari pencoblosan.

Wajah Masa Depan Demokrasi Kita

Lantas, bagaimana masa depan organisasi-organisasi relawan politik dalam konteks demokrasi di Indonesia? Apakah keberadaan mereka akan terus dibutuhkan?

Saya sependapat dengan Hasanuddin Ali, Direktur Alvara Research Center. Ia meyakini, meskipun pada Pilpres 2019 koalisi parpol pendukung Jokowi semakin gemuk, tetapi peran relawan akan tetap dibutuhkan (Tirto, 17/9/2018). Sebabnya, Pilpres kali ini berbarengan dengan Pileg.

Logistik dan sumberdaya manusia parpol akan terkuras untuk memenangkan kursi parlemen sehingga mengurangi kinerja penjaringan suara untuk Pilpres. Sementara itu, kontestasi Pilkada dan Pileg yang semakin individualistis dan nepotis mengurangi kebergantungan pada parpol. Akibatnya, uluran tangan kiri dari kelompok relawan politik semakin dibutuhkan.

Pada gilirannya, posisi tawar ORP akan semakin besar seiring kebergantungan terhadap potensinya semakin meningkat. Organisasi relawan dengan massa cukup besar bisa saja menjelma menjadi partai politik tersendiri untuk menjadi wahana bagi sang ketua. Bisa juga komunitas itu berbalik menjadi kekuatan oposisi bila ia merasa dirugikan atau kecewa dengan figur panutannya.

Our Brand Is Crisis ditutup dengan rage-ending. Castillo, presiden junjungan Eduardo, mangkir dari janjinya dan membungkukkan Bolivia ke hadapan IMF. Eduardo berang dan bergabung dengan gelombang demonstrasi yang mulai menyapu negeri.

 Apakah ini akan menjadi dinamika politik yang akan menghiasi wajah demokrasi kita di tahun-tahun mendatang? Kita berharap tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun