Relawan politik sulit diidentifikasi secara pasti. Mereka ibarat bunglon. Pada dasarnya, masing-masing adalah anggota dari komunitas-komunitas sosial yang berganti jubah pada masa kampanye. Jadilah komunitas sepeda onthel, komunitas motor besar, alumni perguruan tinggi, pedagang pasar, dan emak-emak untuk sementara waktu mengenakan identitas politik tertentu.
Setelah masa kampanye, sebagian besar akan kembali memakai jubah yang lama. Sebagian lagi berhasil memanjat status. Ini dirasakan lebih cepat daripada melalui jalur parpol. Diketahui, sejumlah relawan Projo, misalnya, diangkat menjadi komisaris di beberapa BUMN setelah Jokowi menang pada 2014.
Sisi Positif Relawan Politik
Komunitas relawan paslon dapat mengumpulkan dana kampanye yang tidak sedikit. Dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) yang disampaikan tim kampanye Jokowi-JK pada tahun 2014, dana yang terkumpul secara perorangan mencapai Rp 42.744.462.048! Angka ini diakumulasi oleh 59.000 penyumbang dengan nilai rata-rata di bawah Rp 100.000.
Naiknya Emmanuel Macron menjadi presiden Perancis pun sepenuhnya bergantung pada perjuangan relawannya. Tanpa dukungan dari parpol, gerakan Macron, En Marche! (On the Move) otomatis menjadi pengganti mesin partai yang beranggotakan 230 ribu relawan. Lebih dari 6,5 juta berhasil mereka kumpulkan, dengan rata-rata sumbangan 250.
Ini membuktikan dua hal: pertama, bahwa potensi sumberdaya ORP bisa melampaui parpol, dan kedua, bahwa ORP akan terus ada selama undang-undang mengizinkan calon independen.
Sisi positif lain dari kehadiran relawan politik tampak ketika Jokowi-JK mulai menyusun kabinet pemerintahan. Kala itu, para relawan politik dilibatkan untuk mengusulkan nama-nama menteri yang layak masuk "the dream team." Langkah ini dinilai jitu untuk mencegah presiden terjebak dalam pola transaksional partai politik. Ujung-ujungnya, publik dipuaskan harapannya.
Sisi Negatif Relawan Politik
Kelompok-kelompok relawan politik beraktivitas secara offline dan online. Idealnya, yang mereka lakukan adalah meyakinkan swing-voters untuk memilih jagoan mereka. Masalahnya, idealisme itu tidak selalu disertai dengan kedewasaan berpolitik individual.Â
Meneliti lebih dari 3.000 relawan Obama dalam Pilpres Amerika 2012 silam, Ryan D. Enos (Harvard) dan Eitan D. Hersh (Yale) menemukan bahwa para relawan itu "demographically unrepresentative, ideologically extreme, cared about atypical issues, and misunderstood the voters' priorities" (nytimes.com, 07/11/2014).
Kedewasaan berpolitik umat pemilih di Indonesia pun jauh panggang dari api. Implikasinya, yang terjadi saat ini adalah tsunami perdebatan dan penistaan, baik di lapangan, apalagi di dunia maya. Perang posting berkecamuk di jejaring-jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan whatsapp tanpa dapat dipadamkan oleh Undang-Undang ITE.