Kebudayaan menjadi hal yang sangat melekat pada kehidupan masyarakat Indonesia. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita tak pernah lepas dari namanya kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar sangat kuat pada masyarakat. Budaya pada masyarakat di daerah satu dengan daerah lainnya sangat berbeda-beda.Â
Pada sudut pandang nilai, kebudayaan pada masing-masing daerah memiliki nilainya masing-masing sehingga tidak dapat disamakan antara satu dengan lainnya. Selain itu, percampuran budaya dalam bentuk akulturasi serta asimilasi kebudayaan dapat terjadi akibat adanya interaksi antar budaya. Budaya Indonesia yang sangat beragam dari Sabang sampai Merauke dapat menyebabkan terjadinya percampuran budaya.Â
Keberagaman genetik serta suku yang tinggal dalam suatu ekosistem yang sangat berdekatan, dapat memunculkan individu baru dengan keberagaman genetik yang baru juga. Sehingga hal tersebut akan memunculkan kebudayaan serta individu baru yang siap atau tidak siap menghadapi kerasnya alam. Kebudayaan selalu berfokus dengan etika manusia.Â
E.B Tylor berpendapat bahwa budaya adalah suatu keseluruhan yang bersifat kompleks, meliputi kepercayaan, kesusilaan, adat-istiadat, hukum, seni, kesanggupan dan juga semua kebiasaan yang dipelajari oleh manusia yang menjadi bagian dari suatu masyarakat. Etika manusia akan membentuk pola hidup bermasyarakat yang selanjutnya akan menjadi suatu kebudayaan yang kompleks menurut E.B Tylor. Kekompleksan ini akan membawa kebudayaan tersebut menjadi sebuah peradaban maju dan berluhur.
Dalam konteks berbudaya, ada hal yang terkadang menjadikan manusia tersebut selalu mengikuti apa yang dikatakan oleh "budaya" tersebut. Seperti budak yang selalu saja menghamba kepada tuannya, manusia seakan-akan diperbudak oleh kebudayaan yang diciptakan. Lalu, bagaimana bisa manusia diperbudak oleh budaya?Â
Zaman sudah memasuki era globalisasi dan kebebasan untuk memilih dan berfikir. Semakin terbuka informasi yang dihidangkan, semakin bebas pilihan yang ditentukan. Hal tersebut seakan-akan hanya terjadi pada manusia Generasi Zaman Now.Â
Pada konsepnya, kebebasan informasi sebanding dengan kebebasan untuk memilih. Akan tetapi pada realitanya, semakin banyak informasi yang didapatkan maka semakin sedikit pilihan yang ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena adanya aturan yang berlaku. Aturan tercipta karena adanya budaya yang mengikat pada seseorang maupun kelompok. Umumnya, peraturan diciptakan oleh pendahulu-pendahulu untuk kesejahteraan masyarakat. Namun semakin bergeser kesini, zaman telah berubah. Maka, peraturan-peraturan yang telah dilaksanakan selama beratus-ratus tahun terkadang tidak relevan jika digunakan saat ini. P
ada salah satu kasus, Generasi Zaman Now lebih memilih hal yang dilakukan tidak ribet dan instan. Hal tersebut terkadang dikritik oleh tetua-tetua generasi sebelumnya yang lebih memilih untuk mengerjakan suatu hal menjadi ribet dan lama.Â
Pola pikir generasi sebelumnya tentu saja berbeda apabila diterapkan pada Generasi Zaman Now karena perbedaan cara berpikir yang digunakan oleh mereka. Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral. Sebuah pertemuan antara sepasang insan dalam satu meja, mengucapkan janji suci tuk hidup semati. Sederhananya, seorang pria akan mengucapkan janji suci kepada wanitanya.Â
Lalu, seorang pemuka agama atau wali akan mensahkan janji suci tersebut di hadapan Tuhan, masyarakat, dan negara. Akan tetapi dalam budaya Timur terkhusus Indonesia (yang saya ambil ini adalah Suku Jawa karena saya asli Jawa) , prosesi tersebut sangat rumit dan panjang lebar, serta memakan banyak biaya. Seorang pria yang sudah cukup mapan agama, ilmu, harta, usia, dan mentalnya diharuskan mengadakan resepsi di keluarga wanita yang akan menghabiskan banyak dana.
Resepsi dalam sudut pandang agama Islam merupakan salah satu cara menyebarluaskan informasi tentang sebuah pernikahan kepada khalayak ramai. Sebuah prosesi yang rumit serta menghabiskan banyak biaya tuk mengundang banyak tamu undangan yang terkadang tidak dikenal.Â
Alhasil, biaya yang seharusnya digunakan oleh sepasang pengantin tersebut untuk dapat tetap hidup habis bahkan minus apabila biaya yang diperoleh berasal dari hutang Bank.Â
"Aturan yang berlaku memang seperti itu kok", ujar seseorang. Akan tetapi, aturan yang sudah eksis beratus-ratus tahun selayaknya diperbaharui menjadi aturan lebih baru lagi supaya mengikuti perkembangan zaman serta pola pikir Generasi Zaman Now.Â
Adanya aturan tersebut membuat saya bertanya-tanya, untuk apa aturan tersebut dibuat? "Aturan tersebut dibuat supaya laki-laki tidak mudah untuk melakukan pernikahan dengan banyak wanita". Benar dan logis, namun untuk apa aturan tersebut diberlakukan apabila nantinya akan merugikan kedua belah pihak, pria maupun wanita.Â
Tentu saja gengsi, harga diri, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Beberapa hari yang lalu, saya diceramahi tentang proses pernikahan dari awal hingga akhir. Namun apa yang saya tangkap adalah, proses tersebut akan selalu menghabiskan banyak biaya.Â
Pernikahan menjadi momok yang menakutkan bagi pria karena prialah yang lebih banyak menanggung biayanya. Namun, dalam budaya Indonesia yang bermartabat serta menjunjung tinggi kehormatan seorang wanita tentu hal tersebut dianggap sebagai hal yang sangat biasa.Â
Di Amerika Serikat serta negara-negara lain yang menganut pola pikir logis, prosesi pernikahan hanyalah sebagai simbol disahkannya hubungan sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Oleh karenanya, tidak ada prosesi yang meribetkan serta menghabiskan banyak biaya.Â
Indonesia masih mengikuti pola pikir magis, sehingga untuk mencapai kesadaran logis diperlukan waktu yang sangat lama. Oleh karena itulah, masyarakat Indonesia masih menjadi budak budaya, yang mengharuskan segala hal harus diatur oleh budaya etis nenek moyang. (gpw)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H