"Aturan yang berlaku memang seperti itu kok", ujar seseorang. Akan tetapi, aturan yang sudah eksis beratus-ratus tahun selayaknya diperbaharui menjadi aturan lebih baru lagi supaya mengikuti perkembangan zaman serta pola pikir Generasi Zaman Now.Â
Adanya aturan tersebut membuat saya bertanya-tanya, untuk apa aturan tersebut dibuat? "Aturan tersebut dibuat supaya laki-laki tidak mudah untuk melakukan pernikahan dengan banyak wanita". Benar dan logis, namun untuk apa aturan tersebut diberlakukan apabila nantinya akan merugikan kedua belah pihak, pria maupun wanita.Â
Tentu saja gengsi, harga diri, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Beberapa hari yang lalu, saya diceramahi tentang proses pernikahan dari awal hingga akhir. Namun apa yang saya tangkap adalah, proses tersebut akan selalu menghabiskan banyak biaya.Â
Pernikahan menjadi momok yang menakutkan bagi pria karena prialah yang lebih banyak menanggung biayanya. Namun, dalam budaya Indonesia yang bermartabat serta menjunjung tinggi kehormatan seorang wanita tentu hal tersebut dianggap sebagai hal yang sangat biasa.Â
Di Amerika Serikat serta negara-negara lain yang menganut pola pikir logis, prosesi pernikahan hanyalah sebagai simbol disahkannya hubungan sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Oleh karenanya, tidak ada prosesi yang meribetkan serta menghabiskan banyak biaya.Â
Indonesia masih mengikuti pola pikir magis, sehingga untuk mencapai kesadaran logis diperlukan waktu yang sangat lama. Oleh karena itulah, masyarakat Indonesia masih menjadi budak budaya, yang mengharuskan segala hal harus diatur oleh budaya etis nenek moyang. (gpw)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H